Total Tayangan Halaman

Kamis, 17 Februari 2011

Saya "Anti" Demokrasi

oleh : Emha Ainun Nadjib.

Kalau ada bentrok antara Ustadz dengan Pastur, pihak Depag, Polsek, dan Danramil harus menyalahkan Ustadz, sebab kalau tidak itu namanya diktator mayoritas. Mentang-mentang Ummat Islam mayoritas, asalkan yang mayoritas bukan yang selain Islam – harus mengalah dan wajib kalah. Kalau mayoritas kalah, itu memang sudah seharusnya, asalkan mayoritasnya Islam dan minoritasnya Kristen. Tapi kalau mayoritasnya Kristen dan minoritasnya Islam, Islam yang harus kalah. Baru wajar namaya.

Kalau Khadhafi kurang ajar, yang salah adalah Islam. Kalau Palestina banyak teroris, yang salah adalah Islam. Kalau Saddam Hussein nranyak, yang salah adalah Islam. Tapi kalau Belanda menjajah Indonesia 350 tahun, yang salah bukan Kristen. Kalau amerika Serikat jumawa dan adigang adigung adiguna kepada rakyat Irak, yang salah bukan Kristen. Bahkan sesudah ribuan bom dihujankan di seantero Bagdad, Amerika Serikat lah pemegang sertifikat kebenaran, sementara yang salah pasti adalah Islam.

“Agama” yang paling benar adalah demokrasi. Anti demokrasi sama dengan setan dan iblis. Cara mengukur siapa dan bagaiman yang pro dan yang kontra demokrasi, ditentukan pasti bukan oleh orang Islam. Golongan Islam mendapat jatah menjadi pihak yang diplonco dan dites terus menerus oleh subyektivisme kaum non-Islam.

Kaum Muslimin diwajibkan menjadi penganut demokrasi agar diakui oleh peradaban dunia. Dan untuk mempelajari demokrasi, mereka dilarang membaca kelakuan kecurangan informasi jaringan media massa Barat atas kesunyatan Islam.

Orang-orang non-Muslim, terutama kaum Kristiani dunia, mendapatkan previlese dari Tuhan untuk mempelajari Islam tidak dengan membaca Al-Quran dan menghayati Sunnah Rasulullah Muhammad SAW, melainkan dengan menilai dari sudut pandang mereka. Maka kalau penghuni peradaban global dunia bersikap anti-Islam tanpa melalui apresiasi terhadap Qur’an, saya juga akan siap menyatakan diri sebagai anti-demokrasi karena saya jembek dan muak terhadap kelakuan Amerika Serikat di berbagai belahan dunia. Dan dari sudut itulah demokrasi saya nilai, sebagaimana dari sudut yang semacam juga menilai Islam.

Di Yogya teman-teman musik Kiai Kanjeng membuat nomer-nomer musik, yang karena bersentuhan dengan syair-syair saya, maka merekapun memasuki wilayah musikal Ummi Kaltsum, penyanyi legendaris Mesir. Musik Kiai Kanjeng mengandung unsur Arab, campur Jawa, jazz Negro dan entah apa lagi. Seorang teman menyapa: “Banyak nuansa Arabnya ya ? Mbok lain kali bikin yang etnis ‘gitu…”

Lho kok Arab bukan etnis?

Bukan. Nada-nada arab bukan etnis, melainkan nada Islam. Nada Arab tak diakui sebagai warga etno-musik, karena ia indikatif Islam. Sama-sama kolak, sama-sama sambal, sama-sama lalap, tapi kalau ia Islam-menjadi bukan kolak, bukan sambal, dan bukan lalap.

Kalau Sam Bimbo menyanyikan lagu puji-puji atas Rasul dengan mengambil nada Espanyola, itu primordial namanya. Kalau Gipsy King mentransfer kasidah “Yarim Wadi-sakib…”, itu universal namanya. Bahasa jelasnya begini: apa saja, kalau menonjol Islamnya, pasti primordial, tidak universal, bodoh, ketinggalan jaman, tidak memenuhi kualitas estetik dan tidak bisa masuk jamaah peradaban dunia.

Itulah matahari baru yang kini masih semburat. Tetapi kegelapan yang ditimpakan oleh peradapan yang fasiq dan penuh dhonn kepada Islam, telah terakumulasi sedemikian parahnya. Perlakuan-perlakuan curang atas Islam telah mengendap menjadi gumpalan rasa perih di kalbu jutaan ummat Islam. Kecurangn atas Islam dan Kaum Muslimin itu bahkan diselenggarakan sendiri oleh kaum Muslimin yang mau tidak mau terjerat menjadi bagian dan pelaku dari mekanisme sistem peradaban yang dominan dan tak ada kompetitornya. “Al-Islamu mahjubun bil-muslimin”.

Cahaya Islam ditutupi dan digelapkan oleh orang Islam sendiri. Endapan-endapan dalam kalbu kollektif ummat Islam itu, kalau pada suatu momentum menemukan titik bocor – maka akan meledak. Pemerintah Indonesia kayaknya harus segera mervisi metoda dan strategi penanganan antar ummat beragama. Kita perlu menyelenggarakan ‘sidang pleno’ yang transparan, berhati jernih dan berfikiran adil. Sebab kalau tidak, berarti kita sepakat untuk menabuh pisau dan mesiu untuk peperangan di masa depan.

Rabu, 09 Februari 2011

Berbagai Pertanyaan Tentang Kasus Cikeusik


oleh Hanibal Wijayanta pada 09 Februari 2011 jam 20:36
 
 
Ada beberapa pertanyaan kami tentang peristiwa yang terjadi di Cikeusik hari Minggu lalu. Apa yang sebenarnya terjadi?

Tentang kesan pembiaran dan ketidaksigapan polisi. Hari Jumat (4 Februari 2011), ketika massa sudah mulai berdatangan ke Umbulan, Cikeusik, Pandeglang, Banten, aparat lokal sebenarnya sudah tahu tentang hal itu. Polsek sudah mengerahkan polisi ke lokasi. Polres sudah tahu dan sudah siaga. Menurut kabar dari keluarga seorang kawan di ANTV, sejak Jumat itu aparat di seluruh Kabupaten Pandeglang sudah tahu kalau ada rombongan massa yang datang ke Cikeusik. Hari itu juga Suparman (tokoh Ahmadiyah lokal) dan keluarganya pun sudah dievakuasi polisi. Kemudian pada Sabtu malam (5 Februari 2011), massa Ahmadiyah datang dengan dua mobil dari Bogor dan Jakarta.

Menurut polisi, mereka telah menyuruh warga Ahmadiyah yang baru datang itu untuk pergi/dievakuasi, tapi mereka menolak. Karena itu polisi pun meninggalkan lokasi. Pertanyaannya, mengapa polisi membiarkan mereka bertahan di situ? Mengapa polisi tidak berinisiatif untuk memaksa mereka pergi dan mengevakuasi ke tempat aman? Bukankah mereka sudah tahu bahwa kondisi sudah demikian gawat? Di sinilah terkesan polisi membiarkan bentrokan akan terjadi dengan menarik anggotanya dari lokasi. Bahkan kawan kami di redaksi bercerita bahwa saudaranya yang bekerja di pemda Pandeglang bertanya-tanya, mengapa bentrokan itu terjadi padahal seharusnya bisa dicegah karena sudah diketahui sejak awal.

Tentang Massa Ahmadiyah. Mengapa massa Ahmadiyah yang baru datang dengan dua mobil itu menolak dievakuasi? Ada kesan bahwa mereka memang sengaja mempersiapkan diri untuk menjadi martir karena kedatangan mereka jelas bakal memprovokasi massa yang sudah terpancing emosinya sejak dua hari sebelumnya. Lalu apa tujuan mereka? Apalagi massa Ahmadiyah itu sempat mengatakan bahwa mereka ingin bertahan sampai titik darah penghabisan. Mengapa? Apakah mereka memang berharap agar kasus ini meledak dan kemudian menjadi perhatian masyarakat di dalam dan luar negeri? Ataukah mereka dikorbankan untuk scenario berdarah ini?

Penggerak Massa: Dari gambar-gambar video yang muncul di Youtube maupun yang kami dapatkan sendiri di lapangan, tampak jelas bahwa pada awalnya massa tampak digerakkan oleh belasan orang berjaket hitam, sebagian berkaos t-shirt dan kemeja dan bersenjata golok. Yang menarik, mereka ini membawa tanda pengenal berupa pita biru di kerah, atau di dada atau di lengan atas.

Nah, tidak seperti massa cair yang cenderung bergerak setelah berkumpul banyak orang, belasan orang ini berjalan dengan langkah pasti, dengan jarak sekitar beberapa ratus meter, menuju rumah warga Ahmadiyah itu (rumah Suparman). Begitu sampai di depan pekarangan rumah Suparman mereka langsung menghajar warga Ahmadiyah yang berjaga di pekarangan dengan serangan memakai golok, bambu, batu dan lain-lain. Dari gerakan-geriknya, mereka tampak sudah sangat terlatih memainkan golok, mampu berkelit dengan tangkas dan berkelahi. Anehnya, ketika massa mulai nimbrung, pentolan-pentolan penggerak massa ini sudah tidak tampak lagi... Lalu ke mana mereka pergi?

Adanya beberapa kamera video yang sudah standby dari awal. Bagi orang televisi seperti kami, adanya gambar-gambar video yang menggambarkan peristiwa penyerbuan itu sejak awal hingga akhir sangat menarik. Sebab, dari cara mengambil gambarnya saja, sang cameraman terlihat cukup berpengalaman, dengan kamera yang cukup baik, dan yang lebih penting lagi kamera yang ada di lokasi itu tampaknya ada beberapa, minimal dua atau tiga buah, dengan posisi yang sangat bagus dan bisa bercerita banyak tentang peristiwa itu.

Mari kita lihat kamera pertama. Kamera pertama ini mengambil gambar long shoot ketika belasan orang berjalan dengan bergegas, dipimpin seorang lelaki berjaket hitam dan berkopiah hitam. Kamera ke dua mulai merekam ketika belasan orang itu semakin mendekati lokasi, berteriak-teriak, mulai dari long shoot kemudian medium shoot hingga si pemimpin masa sempat diambil gambarnya dalam jarak dekat secara closeup meski hanya sekilas. Lalu kamera bergerak pan ke kanan dan mengambil gambar ketika seorang polisi mencoba menahan massa tapi kemudian membiarkan mereka. Mengapa polisi tidak terus menahan mereka, mengeluarkan tembakan peringatan dan sebagainya? Apakah karena polisi itu melihat pita-pita biru yang dipakai belasan orang itu? Ataukah mereka saling kenal?

Selanjutnya ketika bentrokan awal mulai terjadi, tampak jelas betapa kamera yang mengambil gambar itu berada di belakang penyerbu. Yang menarik cameraman yang mengambil suasana bentrokan itu terkesan tidak takut dan seolah sudah saling mengenal dengan penyerbu, sehingga mereka bisa mengambil gambar dengan tenang. Hal itu pula yang terjadi ketika warga Ahmadiyah yang sudah ditelanjangi kemudian dipukuli dan dianiaya dengan sadis. Kamera tetap mengambil gambar tanpa takut, tidak dilarang untuk mengabadikan penganiayaan itu, dan bahkan mengambil gambar orang-orang yang mengambil gambar kekejaman itu dengan handphonenya.

Soal gambar-gambar video diupload di Youtube. Di Cikeusik kontributor kami memang terlambat sampai ke lokasi. Baru sore dia sampai lokasi. Tapi contributor kami ini datang bersama para wartawan dan kontributor dari media lainnya. Maka yang pertama kali dikirim dari lokasi peristiwa adalah gambar-gambar pasca kejadian. Mengirim gambar via streaming dari lokasi juga tidak bisa dilakukan dengan cepat, maka baru pada malam hari gambar pasca peristiwa terkirim dari warnet di kota kecamatan.

Nah, di saat kontributor televisi kerepotan ke lokasi dan kemudian mengirim gambar yang mereka dapat sendiri di kota kecamatan, ternyata gambar-gambar peristiwa bentrokan terjadi yang begitu jelas dan gamblang itu sudah diupload ke youtube pada Senin pagi 7 Februari 2011, dengan beberapa nama uploader. Ada yang dengan nama andreasharsono, amatkuat dan sebagainya. Lalu mengapa gambar-gambar itu bisa begitu cepat terkirim di Youtube, sementara kontri kami dapat gambar-gambar itu besoknya. Dari mana mereka mendapat gambar-gambar itu?

Ada tiga seri "video amatir" yang kami dapat dari lapangan. Pertama kami dapat dengan merekam langsung gambar itu dari kamera handphone seorang… petugas Kodim… Gambar itu identik dengan salah satu gambar video kekerasan di Cikeusik lewat Youtube yang menggambarkan suasana saling lempar dan bacok antara warga Ahmadiyah melawan penyerang.

Gambar kedua adalah gambar terpanjang, sekitar 10 menit. Gambar ini kami dapat ketika reporter kami sedang berada di sebuah warnet di kota kecamatan Cikeusik. Saat itu ada seorang polisi di sana. Karena koordinator liputan daerah meminta gambar video amatir yang lain –selain yang pertama--, maka reporter itu langsung berinisiatif meminta kepada si polisi, "Punya video amatir soal penyerbuan kemarin nggak, Pak?" Polisi itu menjawab, "Ada tuh di computer yang kamu pakai, tadi barusan ditransfer…" (???) Yang menarik, gambar ini sama dengan gambar video yang isinya pembakaran dan penganiayaan sadis warga Ahmadiyah yang diupload di Youtube.

Video ketiga didapat reporter kami dari seorang warga yang mengambil gambar dengan handphonenya ketika suasana mulai agak reda sampai penganiayaan. Kualitas ketiga video ini berbeda-beda. Yang pertama karena diambil dengan kamera handphone langsung sangat berbeda dengan video gambar cenderung flat dan tidak begitu kelihatan detailnya. Gambar ke dua lebih detail dan gambar pun stabil. Sedangkan gambar ketiga karena dari kamera handphone sederhana kualitas gambar lebih buruk.

Namun gambar yang detail kami dapat kemudian, sebagaimana gambar video yang diupload di Youtube, tergambar secara detail suasana kedatangan para penggerak massa, sampai masuk ke pekarangan dan bentrokan awal, kualitas gambarnya jauh lebih bagus. Gambar video ini juga lebih bercerita, dengan berbagai sudut pengambilan gambar yang bagus, cara mengambil gambar pun tampak lebih professional. Lalu siapa yang mengambil gambar ini? Mengapa pengambilan gambarnya begitu professional? Mengapa mereka kelihatan tidak berkonflik dengan penyerang? Lalu apa motif mereka?

Hingga kini kami masih belum menyimpulkan dalang kasus ini secara pasti. Tapi paling tidak, kami jadi bertanya-tanya, apa yang sebenarnya terjadi? Siapa yang sedang bermain-main dengan nyawa manusia?

Senin, 07 Februari 2011

Mungkin Sekali Saya Sendiri Juga Maling

Oleh Taufiq Ismail

11th Januari 2011, 20:30

Kita hampir paripurna menjadi bangsa porak-poranda,terbungkuk dibebani hutang dan merayap melata sengsara di dunia. Penganggur 40 juta orang, anak-anak tak bisa bersekolah 11 juta murid, pecandu narkoba 6 juta anak muda, pengungsi perang saudara 1 juta orang, VCD koitus beredar 20 juta keping, kriminalitas merebat disetiap tikungan jalan dan beban hutang di bahu 1600 trilyun rupiahnya.

Pergelangan tangan dan kaki Indonesia diborgol diruang tamu Kantor Pegadaian Jagat Raya, dan dipunggung kita dicap sablon besar-besar: Tahanan IMF dan Penunggak Bank Dunia.

Kita sudah jadi bangsa kuli dan babu, menjual tenaga dengan upahpaling murah sejagat raya. Ketika TKW-TKI itu pergi lihatlah mereka bersukacita antri penuh harapan dan angan-angan di pelabuhan dan bandara, ketika pulang lihat mereka berdukacita karena majikan mungkir tidak membayar gaji, banyak yang disiksa malah diperkosa dan pada jam pertama mendarat di negeri sendiri diperas pula.

Negeri kita tidak merdeka lagi, kita sudah jadi negeri jajahan kembali. Selamat datang dalam zaman kolonialisme baru, saudaraku. Dulu penjajah kita satu negara, kini penjajah multi kolonialis banyak bangsa. Mereka berdasi sutra, ramah-tamah luar biasa dan banyak senyumnya. Makin banyak kita meminjam uang, makin gembira karena leher kita makin mudah dipatahkannya.

Di negeri kita ini, prospek industri bagus sekali. Berbagai format perindustrian, sangat menjanjikan, begitu laporan penelitian. Nomor satu paling wahid, sangat tinggi dalam evaluasi, dari depannya penuh janji, adalah industri korupsi .

Apalagi di negeri kita lama sudah tidak jelas batas halal dan haram, ibarat membentang benang hitam di hutan kelam jam satu malam. Bergerak ke kiri ketabrak copet, bergerak ke kanan kesenggol jambret, jalan di depan dikuasai maling, jalan di belakang penuh tukang peras, yang di atas tukang tindas. Untuk bisa bertahan berakal waras saja di Indonesia, sudah untung. Lihatlah para maling itu kini mencuri secara berjamaah. Mereka bersaf-saf berdiri rapat, teratur berdisiplin dan betapa khusyu'. Begitu rapatnya mereka berdiri susah engkau menembusnya. Begitu sistematiknya prosedurnya tak mungkin engkau menyabotnya. Begitu khusyu'nya, engkau kira mereka beribadah. Kemudian kita bertanya, mungkinkah ada maling yang istiqamah? Lihatlah jumlah mereka, berpuluh tahun lamanya, membentang dari depan sampai ke belakang, melimpah dari atas sampai ke bawah, tambah merambah panjang deretan saf jamaah.

Jamaah ini lintas agama, lintas suku dan lintas jenis kelamin. Bagaimana melawan maling yang mencuri secara berjamaah? Bagaimana menangkap maling yang prosedur pencuriannya malah dilindungi dari atas sampai ke bawah? Dan yang melindungi mereka, ternyata, bagian juga dari yang pegang senjata dan yang memerintah. Bagaimana ini? Tangan kiri jamaah ini menandatangani disposisi MOU dan MUO (Mark Up Operation), tangan kanannya membuat yayasan beasiswa, asrama yatim piatu dan sekolahan. Kaki kiri jamaah ini mengais-ngais upeti ke sana kemari, kaki kanannya bersedekah, pergi umrah dan naik haji. Otak kirinya merancang prosentasi komisi dan pemotongan anggaran, otak kanannya berzakat harta, bertaubat nasuha dan memohon ampunan Tuhan.

Bagaimana caranya melawan maling begini yang mencuri secara berjamaah? Jamaahnya kukuh seperti diding keraton, tak mempan dihantam gempa dan banjir bandang, malahan mereka juru tafsir peraturan dan merancang undang-undang, penegak hukum sekaligus penggoyang hukum, berfungsi bergantian. Bagaimana caranya memroses hukum maling-maling yang jumlahnya ratusan ribu, barangkali sekitar satu juta orang ini, cukup jadi sebuah negara mini, meliputi mereka yang pegang kendali perintah, eksekutif, legislatif, yudikatif dan dunia bisnis, yang pegang pestol dan mengendalikan meriam, yang berjas dan berdasi. Bagaimana caranya? Mau diperiksa dan diusut secara hukum? Mau didudukkan di kursi tertuduh sidang pengadilan? Mau didatangkan saksi-saksi yang bebas dari ancaman? Hakim dan jaksa yang bersih dari penyuapan? Percuma seratus tahun pengadilan, setiap hari 8 jam dijadwalkan Insya Allah tak akan terselesaikan. Jadi, saudaraku, bagaimana caranya? Bagaimana caranya supaya mereka mau dibujuk, dibujuk, dibujuk agar bersedia mengembalikan jarahan yang berpuluh tahun dan turun-temurun sudah mereka kumpulkan.

Kita doakan Allah membuka hati mereka, terutama karena terbanyak dari mereka orang yang shalat juga, orang yang berpuasa juga, orang yang berhaji juga. Kita bujuk baik-baik dan kita doakan mereka. Celakanya, jika di antara jamaah maling itu ada keluarga kita, ada hubungan darah atau teman sekolah, maka kita cenderung tutup mata, tak sampai hati menegurnya. Celakanya, bila di antara jamaah maling itu ada orang partai kita, orang seagama atau sedaerah, Kita cenderung menutup-nutupi fakta, lalu dimakruh-makruhkan dan diam-diam berharap semoga kita mendapatkan cipratan harta tanpa ketahuan. Maling-maling ini adalah kawanan anai-anai dan rayap sejati. Dan lihat kini jendela dan pintu Rumah Indonesia dimakan rayap. Kayu kosen, tiang, kasau, jeriau rumah Indonesia dimakan anai-anai. Dinding dan langit-langit, lantai rumah Indonesia digerogoti rayap. Tempat tidur dan lemari, meja kursi dan sofa, televisi rumah Indonesia dijarah anai-anai. Pagar pekarangan, bahkan fondasi dan atap Rumah Indonesia sudah mulai habis dikunyah-kunyah rayap. Rumah Indonesia menunggu waktu, masa rubuhnya yang sempurna. Aku berdiri di pekarangan, terpana menyaksikannya. Tiba-tiba datang serombongan anak muda dari kampung sekitar. "Ini dia rayapnya! Ini dia Anai-anainya!" teriak mereka. "Bukan. Saya bukan Rayap, bukan!" bantahku. Mereka berteriak terus dan mendekatiku dengan sikap mengancam. Aku melarikan diri kencang-kencang. Mereka mengejarkan lebih kencang lagi. Mereka menangkapku. "Ambil bensin!" teriak seseorang. "Bakar Rayap," teriak mereka bersama. Bensin berserakan dituangkan ke kepala dan badanku. Seseorang memantik korek api. Aku dibakar. Bau kawanan rayap hangus.

Membubung Ke udara.