Total Tayangan Halaman

Kamis, 21 Agustus 2008

Pelacurkah?

Tidak terasa Ramadhan sebentar lagi. Ngomongin Ramadhan pasti ngingetin kita pada aktivitas seubrek yang sudah menjadi rutinitas kita setiap tahunnya. Sebulan penuh dunia di sekitar kita (khusus Indonesia lho ya...) terasa berubah. Selalu ada yang spesial. Ada nuansa berbeda. Damai, sejuk dan juga menenangkan.

Seorang teman kantor sibuk mempersiapkan acara selama Ramadhan. Ia aktif dalam kapanitiaan. Tadi pas mo sholat dzuhur iseng-iseng ngobrolin seputar siapa pengisi acara untuk Ramadhan nanti. Pas ngomongin pembicara, gw sampe terbengong-bengong karena ada ustadz yang tarifnya mahal banget. Ustadz itu pasang tarif 26 juta untuk sekali datang. Gila. Enak banget ya jadi ustadz :)

Popularitas jadi alasan utama. Karena dia populer, tarif juga mahal. Kok kayak artis ya. Saya pun mikir ini ustadz ato artis? Mana panggilan dakwahnya? Ah sirik aja gw. Ah tapi logika gw emang ga nerima seorang ustadz pasang tarif. Bagi gw dakwah itu bukan bisnis. Kalo pasang tarif gitu apa bedanya dengan para pelacur? (hehehe...ini bukan berarti setiap yang pasang tarif adalah pelacur lho ya...). Lebih baik mana mana, pelacur yang melacurkan tubuhnya ato seorang ustadz yang melacurkan ilmunya? Kalo saya yang jadi Tuhan saya pilih yang pertama. Ilmu itu bukan untuk dilacurkan tapi untuk diamalkan.


Selasa, 19 Agustus 2008

Pelajaran Cinta

Oleh Anis Matta

Memang tidak mudah. Sebab tidak karena kamu mencintai, lalu hendak memberi, atau kamu menebar pesona kematanganmu melalui itu, maka cintamu berbalas. Fakta ini mungkin pahit. Tapi begitulah adanya: kadang-kadang kamu harus belajar menepuk angin, bukan tangan lain yang melahirkan suara cinta.

Sebabnya sederhana saja. Cinta itu banyak macamnya. Ada cinta misi: cinta yang memang kita rencanakan sejak awal. Cinta ini lahir dari misi yang suci, didorong oleh emosi kebajikan dan didukung dengan kemampuan memberi. Misalnya cinta para nabi kepada umatnya, atau guru kepada muridnya, atau pemimpin kepada rakyatnya, atau ibu kepada anaknya. Jiwamu dan jiwa orang yang kamu cintai tidak mesti bersatu. Cinta ini sering tidak berbalas. Bahkan sering berkembang jadi permusuhan. Lihatlah nabi-nabi itu dimusuhi umatnya, atau para ibu ditelantarkan anak-anaknya di usia tua, atau pemimpin yang baik dibunuh rakyatnya, atau guru yang dilupakan murid-muridnya.

Inilah cinta yang paling luhur. Paling suci. Sebagian besar kebaikan yang kita saksikan dalam kehidupan kita, bahkan dalam sejarah umat manusia, sebenarnya merupakan buah dari cinta yang ini. Ambillah contoh: 1,3 milyar umat Islam saat ini adalah hasil perjuangan berdarah-darah sang nabi beserta sahabat-sahabatnya. Itu cinta misi.

Tapi ada jenis cinta yang lain. Cinta jiwa. Cinta ini lahir dari kesamaan atau kegenapan watak jiwa. Jiwa yang sama atau berbeda tapi saling menggenapi biasanya akan saling mencintai. Cinta ini yang lazim ada dalam hubungan persahabatan dan perkawinan atau keluarga. Cinta ini mengharuskan adanya respon yang sama: cinta tidak boleh bertepuk sebelah tangan di sini.

Inilah cinta yang paling rumit. Serumit kimia jiwa manusia. Suatu saat, misalnya Umar Bin Khattab hendak melamar Ummu Kultsum Binti Abu Bakar, adik Aisyah ra. Gadis itu sangat belia dan tumbuh diantara jiwa-jiwa lembut nan penyayang. Aisyah ra jadi gusar. Wataknya tidak bertemu dengan watak Umar. Tapi siapa berani menolak lamaran manusia paling sholeh di muka bumi ketika itu? Namun dengan diplomasi yang sangat halus, melalui kepiawaian Amr Bin Ash, Aisyah ra menolak lamaran itu sembari menyarankan sang khalifah menikahi Ummu Kultsum Binti Ali Bin Abi Thalib, adik Hasan dan Husaen. Kali ini lamarannya diterima: Ali dan Umar memiliki watak yang sama. ”Tidak ada alasan menolak lamaran manusia terbaik di muka bumi”, kata Ali ra.

Ada cinta ketiga. Cinta maslahat. Cinta ini dipertemukan oleh kesamaan kepentingan. Mereka bisa berbeda watak atau misi. Tapi kepentingan mereka sama maka mereka saling mencintai. Misalnya hubungan baik yang lazim berkembang di dunia bisnis. Suara ramah dari penjawab telepon, atau senyum manis seorang pramugari, atau layanan sempurna seorang resepsionis hotel: semua berkembang dari kepentingan tapi efektif menciptakan kenyamanan jiwa (comfortability). Anda adalah bagian dari pekerjaannya. Bukan jiwanya. Anda adalah kepentingannya. Bukan misinya.

Sumber : Tarbawi Edisi 105 Th. 7/Sahfar 1426 H/31 Maret 2005 M

Rabu, 13 Agustus 2008

kembali menyapa

aku butuh mengekspresikan diri
selama ini aku terkungkung
dalam jerat jarak dan waktu

mulai hari ini temanku
aku akan kembali menyapamu
menggali dan mengurai makna
yang tertangkap dan terungkap

salam...
salam pada kehidupan
salam pada kenyataan
salam pada impian
salam pada idealisme
dan salam pada kemanusiaan