Total Tayangan Halaman

Selasa, 27 Mei 2008

Laissez-Faire Pak SBY, Laissez-Faire

Oleh: Amran Nasution *

Hidayatullah.com--Harga bahan bakar minyak (BBM) naik akhir Mei 2008. Itu sudah keputusan Pemerintah SBY–JK. Mahasiswa bisa saja menolak dan melakukan demonstrasi merata hampir di seluruh Indonesia, dari Padang sampai Kendari, dari Jakarta sampai Ternate. Tapi harga bensin tetap harus naik.

Para ekonom atau pengamat bisa saja protes. Kwik Kian Gie siap dengan hitung-hitungan bahwa tak betul rakyat disubsidi lewat harga BBM. Pemerintah ternyata sudah memperoleh keuntungan berlipat-lipat selama ini, dengan menjual bensin Rp 4500/liter. ‘’Mau debat dengan siapa saja, di mana saja, dari dulu saya siap. Tapi mereka diam saja,’’ kata mantan Kepala Bappenas itu.

Ekonom dan anggota DPR Drajat Wibowo bisa saja bersikukuh tak ada maslahat dengan APBN sekali pun harga BBM tak naik. Ia ajari cara menyusun APBN, antara lain, dengan menunda pembayaran cicilan utang.

Dengan itu Drajat ingin menunjukkan adalah bohong pernyataan yang menyebutkan APBN akan jebol kalau harga minyak tak dinaikkan. Ia prihatin, begitu harga BBM naik harga semua kebutuhan pokok turut naik pula. Maka rakyat yang selama ini daya belinya sudah merosot, menjadi korban. Pengalaman kenaikan harga BBM tahun 2005, menunjukkan begitu.

Bantuan Langsung Tunai (BLT) yang diberikan pemerintah tak ada artinya, rakyat tetap saja bertambah miskin. BLT tampaknya memang sekadar proyek politik pencitraan – bahwa Presiden kita pemurah – guna menghadapi pemilihan umum.

Padahal rakyat sudah amat menderita. Percuma saja Biro Pusat Statistik (BPS) memilih-milih dan memilah-milah data untuk mendukung citra pemerintah. Semua orang tahu di mana-mana sekarang rakyat makan nasi aking. Berita radio, koran dan TV menunjukkan berapa banyak anak-anak kurang gizi dan kelaparan. Di Makasar, seorang ibu hamil meninggal dunia karena berhari-hari tak tersentuh makanan. Mereka tak mungkin diselamatkan hanya dengan data BPS.

Lagi pula, apa pun data BPS, faktanya Indonesia masuk indeks 60 negara gagal 2007 (failed state index 2007) yang disusun Majalah Foreign Policy bekerja sama dengan lembaga think-tank, The Fund for Peace. Majalah itu amat berwibawa, milik The Carnegie Endowment, think-tank dengan jaringan internasional paling luas di Amerika Serikat. Salah satu pendiri majalah itu adalah Profesor Samuel Huntington, ahli ilmu politik senior dari Harvard University.

Yang hendak dikatakan, Foreign Policy bukan majalah yang diterbitkan dari pinggir got. Indonesia memang betul-betul negara gagal, satu kelompok dengan Sudan, Somalia, Iraq, Afghanistan, Zimbabwe, Ethiopia, atau Haiti. Salah satu ukurannya: pemerintah pusat sangat lemah dan tak efektif, pelayanan umum jelek, korupsi dan kriminalitas menyebar, dan ekonomi merosot. Nah, kalau mau jujur, memang begitulah persis potret negeri kita sekarang.

Data indeks pembangunan manusia (human development index) dari badan PBB, UNDP, memberikan indikator serupa. Indonesia menduduki peringkat 107 dari 177 negara, jauh di bawah Singapore, Arab Saudi, Malaysia, atau Thailand. Malah kita di bawah Filipina, Vietnam, Palestina, atau Srilangka. Padahal Srilangka itu negeri rusuh karena pemberontakan Macan Tamil dan Palestina lebih rusuh lagi akibat penjajahan Israel.

Begitu pun kenyataannya tetap saja harga minyak harus naik. Apakah rakyat tambah menderita seperti dikhawatirkan Kwik Kian Gie atau Drajat Wibowo dan kawan-kawan, tak ada maslahat bagi pemerintah. Soalnya, ini sudah tak bisa ditawar. Ini sebetulnya untuk kepentingan ideologi.

Ideologi? Barang siapa membaca buku terlaris dari Naomi Klein, The Shock Doctrine, The Rise of Disaster Capitalism (The Penguin Group, September 2007), akan terang-benderanglah motif sebenarnya di balik langkah pemerintah menaikkan harga BBM atau mengobral 37 perusahaan BUMN (Badan Usaha Milik Negara) kepada asing. Itu semata-mata untuk menegakkan ideologi kapitalisme-laissez-faire, atau di sini dikenal sebagai sistem ekonomi liberal, yang dianut pemerintah kita.

Inilah sistem ekonomi pasar yang menyerahkan urusan ekonomi kepada perusahaan swasta dengan campur tangan pemerintah sebisa mungkin dihilangkan. Sistem ini menginginkan pemerintah tidur saja. Pemerintah tetap tak boleh mencampuri urusan ekonomi, sekali pun hanya untuk meningkatkan taraf hidup orang miskin.

Dalam pandangan ideologi ini, jika pemerintah mengurusi perekonomian orang miskin, itu sama artinya melakukan redistribusi kekayaan, menyebabkan orang menjadi malas dan kehilangan kreativitas. Kalau orang jadi miskin, biarkan saja miskin. Karenanya dia disebut sistem laissez-faire, dari bahasa Perancis: biarkan terjadi.

Ciri khasnya: deregulasi, pajak rendah (terutama untuk pengusaha kaya, agar mereka lebih cepat melakukan akumulasi modal untuk meningkatkan kemampuan bersaing), swastaisasi/privatisasi, anti-subsidi, anti-pengaturan upah buruh minimal, dan semacamnya.

Tentang upah buruh, misalnya, serahkan saja kepada mekanisme pasar, jangan diatur-atur pemerintah atau serikat buruh. Mekanisme pasar akan bekerja menentukan upah yang pantas untuk buruh. Artinya, semua terserah pengusaha. Karena itu belum bisa terlaksana, dunia perburuhan kita memakai sistem buruh terputus (off-sourcing), sehingga posisi tawar pengusaha kuat ketika berhadapan dengan serikat buruh.

Ideologi ini pertama kali dirumuskan ekonom Skotlandia, Adam Smith, di akhir abad ke-18. Tapi setelah ekonomi dunia dilanda krisiss dahsyat (great depression) di akhir 1920-an, mulai banyak negara meninggalkannya. Ideologi ini dituduh sebagai biang keladi kehancuran ekonomi, meski para pendukungnya selalu membela diri.

Ia kembali berkibar di awal 1980-an, ketika Presiden Amerika Serikat Ronald Reagan dan Perdana Menteri Inggris Margaret Teatcher mengkampanyekannya, terutama untuk menghadapi sistem ekonomi komunisme Uni Soviet, dalam perang dingin. Maka ambruknya Uni Soviet, dengan simbol rubuhnya Tembok Berlin, 1989, diklaim sebagai kehebatan sistem ini.

Dalam prakteknya sistem ini menyebabkan orang kaya bertambah kaya, orang miskin bertambah miskin. Dunia pun terus-menerus dilanda krisis ekonomi, mulai great depression sampai krisis yang melanda Asia 1997, atau Amerika Serikat sekarang.

Banyak para ahli berpendapat, multi-krisis yang melanda Amerika saat ini karena laissez-faire. George Soros, investor sukses pasar modal, termasuk berpendapat begitu. Padahal Soros justru dianggap simbol sukses kapitalisme global di tahun 1990-an.

Naomi Klein, 38 tahun, aktivis, penulis dan wartawati terkemuka Kanada, lulusan London School of Economics, berhasil mengungkap sebuah metode dari sistem kapitalisme laissez-faire. Itu dikembangkan pemenang nobel ekonomi 1976, Profesor Milton Friedman, dan pengikutnya di Chicago School of Economics, University of Chicago.

Klein menyebutnya Doktrin Kejut (The Shock Doctrine) dan itu yang ia jadikan judul buku setebal 558 halaman, dan banyak mendapat pujian. Sebuah artikel di Dow Jones Business News, Oktober 2007, menyebut The Shock Doctrine, The Rise of Disaster Capitalism (Doktrin Kejut, Bangkitnya Kapitalisme Bencana) sebagai buku terpenting tentang ekonomi di abad 21.

The Chicago Boys

Begini. Pada 2005, badai Katrina diikuti gelombang pasang meluluh-lantakkan New Orleans, kota berpenduduk 500.000 jiwa di tepi Sungai Mississippi, di tenggara Negara Bagian Louisiana. Hampir 2000 penduduk meninggal, rumah, jembatan, dan berbagai infrastruktur hancur. Inilah bencana alam dengan korban material terbesar di Amerika.

Paman Miltie – begitu Milton Friedman dipanggil hormat pengikutnya – ternyata punya pendapat tersendiri atas bencana itu. Melalui kolom di koran The Wall Street Journal, 3 bulan setelah bencana, Paman Miltie menulis, ‘’Banyak sekolah di New Orleans rusak. Begitu juga rumah tempat anak-anak berteduh. Anak-anak terpencar di seluruh negeri. Ini adalah sebuah tragedi. Ini juga sebuah peluang.’’

Bagaimana bencana begitu dahsyat disebut Profesor Friedman sebagai peluang? Ternyata itu beralasan. Hanya dalam tempo 19 bulan, ketika banyak penduduk masih tinggal di pengungsian, sebuah kompleks sekolah telah berdiri di bekas sekolah negeri (public school) yang dihanyutkan badai. Sekolah itu dilengkapi berbagai fasilitas dan guru. Tapi ia bukan lagi sekolah negeri melainkan sekolah swasta yang didirikan pemodal. Reformasi pendidikan telah terjadi dengan gampang. Tanpa badai Katrina tak mudah memprivatisasi sekolah publik itu.

Para bekas guru menyebut apa yang terjadi pada sekolah mereka sebagai perampasan lahan pendidikan. Naomi Klein menyebutnya aksi kapitalisme bencana (disaster capitalism). Ternyata sudah lebih tiga dekade Profesor Friedman dan pendukungnya yang biasa dijuluki The Chicago Boys, mentrapkan strategi itu: Menunggu datang krisis atau bencana lalu dengan cepat bergerak mereformasi status-quo.

Semua yang berbau pemerintah dijadikan swasta (swastaisasi/privatisasi), ketika orang-orang masih dirundung kaget. Krisis bisa saja terjadi karena perang, bencana alam, teror, ambruknya pasar modal, atau krisis ekonomi lainnya.

Dalam sebuah esei menarik, Friedman menulis bahwa hanya krisis – aktual atau hanya persepsi – yang bisa menghasilkan reformasi sesungguhnya untuk mengubah status-quo. Maka di New Orleans, orang bersiap-siap dengan stok makanan dan air minum, sementara para pendukung Friedman datang dengan ide-ide pasar bebas (free-market). Friedman meninggal dunia setahun kemudian, November 2006, dalam usia 94 tahun.

Dari riset Naomi Klein, diketahui bahwa pengalaman pertama Friedman mengeksploitasi krisis atau kejut (shock) terjadi pertengahan 1970-an, ketika Chili mengalami kudeta oleh Jenderal Augusto Pinochet. Negeri di Amerika Latin itu juga terkena trauma inflasi yang amat tinggi (hyperinflation). Friedman datang menasehati Diktator Pinochet untuk melakukan reformasi ekonomi dengan cepat: deregulasi, pemotongan pajak, perdagangan bebas, privatisasi BUMN, pemotongan anggaran sosial, antara lain, pemangkasan subsidi untuk rakyat miskin.

Semua dijalankan Diktator Pinochet dengan tangan besi. Maka Chili mengalami reformasi sistem ekonomi menjadi kapitalisme laissez-faire paling ekstrim yang pernah terjadi, dan dijuluki sebagai revolusi The Chicago School. Kebetulan sejumlah penasehat ekonomi diktator itu adalah bekas mahasiswa Friedman di Chicago University.

Naomi Klein mulai melakukan riset tentang ketergantungan kapitalisme pasar pada situasi krisis atau shock ketika Amerika Serikat menduduki Iraq, 2003. Penyerbuan itu betul-betul menimbulkan shock yang luar biasa bagi rakyat Iraq mau pun dunia. Lalu apa yang kemudian terjadi di negeri sosialis itu?

Luar biasa: Privatisasi massif berbagai perusahaan pemerintah, penurunan pajak sampai tinggal 15%, deregulasi dan perampingan fungsi pemerintah secara dramatis, terutama menyangkut urusan ekonomi dan praktek perdagangan bebas, sebebas-bebasnya. Friedman dan The Chicago Boys berperan dari belakang. Ia diketahui berteman akrab dengan Donald Rumsfeld, Menteri Pertahanan Amerika waktu itu, dan sejumlah pemikir neo-konservatif yang mengelilingi Presiden George Bush.

Coba bayangkan, militer saja diprivatisasi di Iraq. Pemerintah mengontrak perusahaan Amerika, Blackwater Worldwide – yang sebelumnya sudah terancam bangkrut – untuk proyek jasa pengamanan para kontraktor minyak dan proyek bisnis lainnya. Termasuk untuk mengamankan Kedutaan Besar Amerika Serikat dan personalnya di kawasan zona hijau (Green-zone), Baghdad. Sekitar 30.000 pasukan Blackwater betul-betul mirip tentara dengan persenjataan lengkap berkeliaran di Baghdad dan sekitarnya.

Pasukan bayaran itu berhak menembak dan membunuh orang tanpa bisa diadili. Dia tak tunduk pada hukum Iraq, tidak pula pada hukum Amerika Serikat. Oktober lalu, DPR Amerika membuat undang-undang, bahwa kontraktor yang bekerja pada Pemerintah Amerika di daerah konflik di luar negeri, bertanggung-jawab pada hukum Amerika. Tapi Gedung Putih menolaknya, dan sampai kini undang-undang itu terkatung-katung di Senat.

Padahal September lalu, sejumlah pasukan Blackwater, pengawal konvoi pejabat Departemen Luar Negeri Amerika Serikat yang berkunjung ke Baghdad, entah mengapa tiba-tiba menembaki kendaaran yang ada di jalan umum sekitarnya. Akibatnya, 17 orang meninggal, sejumlah lainnya luka-luka. Para pelaku penembakan sampai sekarang bebas tanpa diadili, dengan dalih belum ada undang-undangnya.

Serangan dahsyat tsunami akhir 2004 di Sri Langka, tak luput dari inceran kaum kapitalis. Penanam modal asing bekerjasama dengan bank internasional memanfaatkan situasi panik akibat bencana, untuk menguasai garis-garis pantai yang indah. Di sepanjang pantai dengan cepat berdiri resor wisata yang megah, hotel, villa, motel, dan sebagainya, menyebabkan ratusan ribu nelayan yang semula mendiami kawasan itu, kini tergusur.

Jelaslah sekarang bagaimana sistem kapitalisme global bekerja untuk mencapai tujuan: memanfaatkan momentum trauma kolektif dari suatu krisis, musibah atau bencana, untuk melaksanakan rekayasa sosial dan ekonomi di berbagai belahan bumi.

Raksasa Carrefour dan Kios Eceran

Krisis ekonomi yang menimpa Asia pada 1997, jelas momentum yang ditunggu-tunggu oleh operator utama sistem kapitalisme global – IMF, Bank Dunia, dan WTO – dan itu dengan lengkap dilaporkan Klein di dalam The Shock Doktrine. Operasi IMF di Indonesia, misalnya, ditulis detil. Bagaimana IMF yang katanya datang untuk mengobati krisis, ternyata bekerja lebih untuk kepentingan ideologi kapitalisme.

Bagaimana deregulasi, privatisasi, dan berbagai perangkat ideologi laissez-faire dipaksakan. Dan untuk itu, menurut The Shock Doktrine, IMF bisa sukses karena bekerja sama dengan kelompok Mafia-Berkeley di Indonesia yang dipimpin Profesor Widjojo Nitisastro (halaman 271). Biarlah sejarah kelak membuktikan, apakah tindakan kelompok Mafia-Berkeley itu penghianatan kepada bangsa Indonesia, atau tidak.

Sejak itu, bukan rahasia lagi kalau banyak undang-undang kita yang amat liberal disahkan DPR atas pesanan IMF. Dikabarkan sejumlah draf undang-undang disiapkan NDI (National Democratic Institute for International Affairs), organisasi yang dibentuk dan dibiayai pemerintah Amerika Serikat – dekat dengan Partai Demokrat – dengan dalih untuk menyebarkan demokrasi di negeri berkembang. Dulu NDI sempat punya ruang khusus di Gedung DPR-RI. Jadi DPR kita tinggal mengetuk palu.

Operasi IMF dalam krisis ekonomi Asia amat menakjubkan. Dalam tempo 20 bulan, terjadi 186 merger dan aquisisi (pengambil-alihan) atas perusahaan-perusahaan negeri yang dilanda krisis -- Indonesia, Thailand, Malaysia, Filipina, dan Korea Selatan -- oleh perusahaan multi-nasional, terutama dari Amerika Serikat. Itu tercatat sebagai aquisisi terbesar yang pernah terjadi di dunia. Merrill Lynch dan Morgan Stanley, perusahaan Amerika yang banyak berperan sebagai agen merger dan aquisisi itu, panen keuntungan komisi yang cukup besar.

Carlyle Group yang suka merekrut ‘’pensiunan’’ pejabat tinggi Amerika – mulai bekas Menlu James Baker sampai bekas Presiden George H.W.Bush – sebagai konsultan, memborong perusahaan telkom Daewoo dan perusahaan informasi Ssangyong. Yang disebut terakhir merupakan salah satu perusahaan teknologi tinggi terbesar di Korea Selatan. Dengan menguasai perusahaan itu, Carlyle menjadi pemegang saham mayoritas di salah satu bank terbesar di negeri ginseng itu.

Semua transaksi itu tak normal, atau dengan kata lain dijual obral. Sekadar contoh, perusahaan mobil Korea Daewoo yang sebelum krisis bernilai 6 milyar dollar, waktu itu diambil-alih perusahaan mobil Amerika, General Motor, hanya dengan 400 juta dollar.

Di Indonesia, sistem penyediaan air minum dikavling oleh Thames Water dari Inggris dan Lyonnaise des Eaux dari Perancis. Westcoast Eergy dari Kanada menguasai proyek pembangkit listrik yang besar.

Sejak IMF menguasai Indonesia, perusahaan raksasa pengecer Carrefour dari Perancis masuk ke sini, menyapu perusahaan lokal yang sudah lama ada, seperti Golden Truly atau Hero, atau perusahaan kecil-kecil di pasar tradisional Tanah Abang dan Cipulir, yang jumlahnya begitu banyak. Nasib mereka tambah parah karena kemudian super-market raksasa dari Malaysia, Giant, hadir kemari. Dia telan Hero yang memang sudah ngos-ngosan. Itulah hasil konkret reformasi 1998.

Ternyata itu belum cukup. Belum lama, perusahaan Perancis itu membeli Alfa-Mart, super-market yang aktif masuk ke pedesaan. Dengan demikian, kini Carrefour dengan bebasnya akan menghancurkan kios eceran di desa-desa. Itulah laissez-faire yang sesungguhnya.

Karena laissez-faire, Presiden SBY lebih memilih menyerahkan proyek minyak dan gas di Cepu yang amat menguntungkan kepada Exxon-Mobil, perusahaan minyak terbesar dan tertua Amerika Serikat, daripada kepada Pertamina, perusahaan BUMN milik sendiri.

Ternyata setelah resep-resep IMF ditrapkan, artinya prinsip kapitalisme laissez-faire dilaksanakan, menurut The Shock Doktrine, justru penduduk miskin bertambah 20 juta orang di Korea Selatan, Malaysia, Thailand, Filipina, dan Indonesia. Pengangguran meledak.

Organisasi buruh internasional ILO, mencatat terjadi 24 juta penganggur baru. Itu justru terjadi pada masa puncak pelaksanaan reformasi IMF. Di Indonesia, angka pengangguran meloncat dari 4% menjadi 12%, dan dua tahun kemudian melambung tiga kali lipat. Setiap bulan ada 60.000 buruh di Thailand dan 300.000 buruh di Korea Selatan yang harus diberhentikan.

Di balik angka-angka statistik itu banyak kisah mengharukan, terutama menimpa anak-anak dan perempuan. Di pedesaan Korea Selatan dan Filipina banyak orang tua harus menjual anak gadisnya kepada pedagang manusia, untuk kemudian dijadikan pelacur di Australia, Eropa, dan Amerika Utara. Di Thailand, pejabat kesehatan melaporkan hanya dalam setahun terjadi peningkatan pelacuran anak-anak sebesar 20%. Data yang mirip terjadi di Filipina.

Tapi sudahlah, ini semua cerita masa lalu. Sekarang, krisis baru terjadi lagi karena harga minyak meningkat di atas 120 dollar/barel. Dunia kian terguncang setelah harga pangan ikut menggila. Artinya, berdasarkan tesis The Shock Doktrine, kapitalisme global dan para operatornya sekarang sedang bekerja.

Tapi di sini apalagi yang mau direformasi? Sejak 1998, Indonesia sudah menjadi salah satu negara kapitalisme laissez-faire paling liberal di dunia. Lihatlah berbagai undang-undang yang dilahirkan DPR, semua liberal. Mulai UU Migas, UU privatisasi air, Pendidikan, Pertanahan, dan terakhir Undang-Undang Pelabuhan.

Karena liberalisme, siapa yang ingin masuk perguruan tinggi negeri harus menyediakan uang Rp 100 juta. Habis bagaimana lagi, kampus sedapat mungkin harus membiayai diri sendiri. Dengan demikian, anak petani, nelayan, buruh, pedagang kecil, jangan harap bisa mendaftar ke sana. Padahal kalau tak universitas negeri kemana lagi mereka belajar untuk meningkatkan taraf hidupnya?

Artinya, dengan sistem ini orang miskin sampai kapan pun akan terus miskin. Hampir tertutup kemungkinan bagi mereka melakukan mobilitas vertikal lewat pendidikan. Inilah kemiskinan yang diciptakan oleh sebuah struktur.

Era Universitas Gajah Mada (UGM) dijuluki Ndeso karena banyak anak desa kuliah di sana, sudah berakhir. Institut Pertanian Bogor (IPB) serupa. Zaman ketika anak-anak desa dari seluruh Indonesia berlomba-lomba belajar ke sana, kini agaknya sudah menjadi nostalgia.

Perusahaan minyak Pertamina yang dulu perkasa kini sudah dirontokkan. Bulog yang dulu efektif sebagai penjamin stabilitas pangan sudah tamat riwayatnya. Bahwa akibatnya rakyat bertambah melarat dan segelintir konglomerat berlipat-ganda kekayaannya, itu soal lain.

Majalah bisnis Forbes, 13 Desember 2007, menulis sepanjang tahun lalu kekayaan para konglomerat Indonesia meloncat dua kali lipat. Sungguh fantastis. Jadi kalau BPS menyodorkan angka pertumbuhan ekonomi kita tahun ini sekian persen, percayalah, itu berasal dari pertumbuhan kekayaan konglomerat kita. Bukan pertumbuhan kekayaan rakyat banyak.

Yang paling menakjubkan adalah Menko Kesra Aburizal Bakrie. Pemilik perusahaan kelompok Bakrie itu, kekayaan bersihnya tahun lalu meroket empat kali lipat. Itu menjadikannya sebagai orang terkaya Indonesia, dengan kekayaan 5,4 milyar dollar.

Apakah Aburizal punya lampu Aladin? Sebuah artikel di Asia Times Online, 22 Juli 2006, sebenarnya sudah pernah membongkar rahasia lampu Aladin itu. Antara lain, karena politik dan bisnis di Indonesia di zaman Presiden SBY, tak terpisah melainkan menyatu.

Memang begitulah yang selalu terjadi di negeri dengan sistem laissez-faire. Begitulah Rusia di zaman Boris Yeltsin dulu. Para konglomerat dalam tempo singkat mendadak jadi kaya-raya, sampai Vladimir Putin datang menertibkannya. Para konglomerat itu kini lari ke luar negeri atau masuk penjara di Siberia. Tapi nantilah dalam kesempatan lain soal ini dibahas.

Di mata kaum kapitalisme laissez-faire, masih ada status-quo yang tersisa di Indonesia. BBM belum sepenuhnya mengikuti harga pasar dan perusahaan BUMN masih eksis. Mumpung suasana shock akibat kenaikan harga minyak dan krisis pangan masih berlangsung, sektor hilir pertambangan harus direformasi. Artinya, pemerintah harus menaikkan harga BBM, dan BUMN harus diobral. Semuanya harus dilakukan sekarang, mumpung krisis masih terjadi.

Masih kurang jelas? Silahkan berkeliling Jakarta dan sekitarnya. Lihatlah bagaimana perusahaan minyak internasional Shell, dan Petronas dari Malaysia, telah dan sedang membangun sejumlah pompa bensin raksasa. Kabarnya izin yang dikeluarkan pemerintah sudah lebih 100.

Semua pompa bensin Shell atau Petronas itu buka sampai malam dengan lampu yang terang-benderang, tapi betul-betul sepi pembeli. Seharian puluhan petugasnya yang berseragam hanya duduk-berdiri sampai capek sendiri, tak pernah melayani konsumen. Coba dicek, penghasilannya setiap bulan, mungkin tak cukup walau untuk sekadar membayar rekening listrik.

Ini terjadi karena mereka hanya menjual BBM non-subsidi yang konsumennya hanya segelintir mobil mewah milik orang kaya. Bahwa mereka terus membangun pompa bensin baru, pasti karena ada jaminan subsidi minyak akan dicabut.

Dengan demikian mereka bisa bersaing bebas dengan pompa bensin Pertamina milik pengusaha lokal yang selama ini menguasai pasar karena menjual BBM bersubsidi. Bila itu terjadi, pompa bensin multi-nasional yang raksasa itu pasti dengan mudah menelan pompa bensin lokal yang kecil-kecil. Kasus Carrefour merontokkan Hero atau pedagang Tanah Abang, akan berulang. Itu sebabnya Shell dan Petronas dengan sabar menunggu laissez-faire. Cukup jelas?

Penulis adalah Direktur Institute for Policy Studies. Tulisan diambil dari situs www.hidayatullah.co.id


Minggu, 18 Mei 2008

Menjadi Bapak Dan Berdoa

Menjadi bapak tidak terbayangkan rasanya akan bagaimana. Tapi profesi itu telah saya jalankan lebih dari seminggu. Saya sangat bersyukur, menjadi bapak membuat kehidupan bertambah makna dan juga bertambah bahagia. Melihat wajah si kecil selalu mendatangkan kebahagiaan tersendiri. Rasanya tidak pernah jemu memandang wajah teduh dan damainya. Ia seperti punya dunia sendiri, dunia yang begitu damai, dunia yang begitu sejuk, dunia yang begitu tenang. Melihat si kecil tidur, mengingatkan saya pada senandung MLTR “sleeping child”.


Oh my sleeping chilld
the world so wild
but you build your own paradise


Melihat si kecil bagi saya adalah melihat surga. Suatu kedamaian dan kesejukkan yang luar biasa. Semoga engkau membawa kesejukkan pada dunia yang dirasa semakin tidak menentu ini. Allif Ali Aulia tinjulah congkaknya dunia dengan senyum damaimu. Allif Ali Aulia semoga menjadi manusia “sadar” bukan hanya menjadi manusia yang “tahu”. Menjadi generasi burhani. Tercerahkan hati dan akalnya. Mewarisi akhlak para wali, mewarisi kerendahan hati yang terus berbagi dan berbakti. Semoga.



Minggu 12 Jumadil Awal 1429 H


Sabtu, 17 Mei 2008

Allif Ali Aulia


Kamis, 8 Mei 2008 adalah hari yang cukup menegangkan bagi saya. Ketika saya akan berangkat kerja, istri saya menahan saya supaya tetap tinggal di rumah. Kemudian istri saya memberitahukan bahwa disekitar selangkangannya keluar begitu banyak cairan. Istri saya sedang hamil sembilan bulan. Tanda-tanda akan melahirkan itu datang.


Saya setengah panik, apa yang harus saya lakukan? Membawa istri ke rumah sakit adalah satu-satunya yang ada dipikiran saya. Tapi orangtua dari istri menenangkaan bahwa apa yang dialami oleh istri saya merupakan gejala yang umum terjadi pada perempuan yang akan melahirkan.


“Kamu jangan panik, ga usah dibawa ke rumah sakit, nanti kalau cairan itu sudah berhenti mengalir biasanya akan langsung diiringi dengan rasa mulas luar biasa, setelah itu baru kita panggil dukun beranak untuk membantu proses persalinan”


Tapi saya tetap tidak bisa tenang. Saya meminta izin kepada atasan bahwa saya tidak bisa masuk kerja hari ini sekalian mengabarkan kondisi istri saya yang akan melahirkan. Atasaan saya menganjurkan agar cepat-cepat dibawa ke rumah sakit. Takut terjadi apa-apa.


Akhirnya saya mengambil keputusan. Istri saya akan tetap saya bawa ke rumah sakit walaupun orangtuanya tidak mengizinkan. Saya telpon kenalan yang punya mobil untuk mengantar saya dan istri (juga keluarga) untuk mengantarkan ke rumah sakit. Jam sembilan pagi kami berangkat ke rumah sakit. Jam setengah sepuluh sampai di rumah sakit. Kami langsung masuk UGD memberitahukan bahwa istri akan melahirkan. Pihak UGD langsung menyuruh kami untuk masuk ke ruang bersalin. Tapi setibanya di ruang bersalin malah kami disuruh untuk daftar dulu di bagian administrasi untuk menjalani pemeriksaan terlebih dahulu.


Kami mengantri di bagian admission (pendaftaran) kurang lebih satu jam. Saya merasa sebal juga, kok teganya pihak rumah sakit menyuruh orang yang akan melahirkan untuk mendaftar seperti pasien umum biasa. Ya tapi karena ini masalah administrasi, kami hanya bisa ikut saja.


Setelah selesai mendaftar dibagian admisi kami langsung menuju poli ginek (kandungan) untuk memeriksa kondisi kandungan istri saya. Karena tahu bahwa istri saya akan melahirkan maka istri saya mendapat prioritas utama. Kami langsung dilayani. Dokter langsung memeriksa kondisi istri saya.


“Nanti saya cek dulu ya pak, pake kertas lakmus ini. Kalau basa (kertas lakmus berwarna biru) berarti cairan yang keluar dari ibu ini ketuban. Dan kalau memang ini air ketuban, istri bapak harus dirawat di ruang bersalin”.


Setelah dilakukan pengetesan ternyata betul, kertas lakmus itu berubah warnya menjadi biru. Dokter pun langsung menuliskan pengantar untuk istri saya supaya dirawat di ruang bersalin. Jam sebelasan istri saya masuk ke ruang bersalin. Saya ditemani orangtua dan kakak menunggu di luar. Pihak rumah sakit tidak mengizinkan saya bisa menemani istri. Saya bener-bener cemas.


Waktu satu jam berlalu. Saya masih sangat cemas luar biasa. Ketika ada salah seorang perawat keluar dari ruang bersalin, saya menanyakan kondisi istri saya. Katanya kondisi istri saya baru bukaan dua. Saya bertanya kira-kira kapan istri saya melahirkan. Dia menjawab kurang lebih dua belas jam lagi. Saya terkaget-kaget, masa sih selama itu.


Jam hampir menunjukkan ke angka satu. Saya bergegas pergi ke musholla untuk melakukan sholat dzuhur. Setelah sholat saya termenung sebentur berdoa kepada Allah Swt supaya memudahkan proses kelahiran. Dalam perenungan itu saya teringat pesan kakak bahwa saat istri akan melahirkan cobalah untuk bersedekah sambil diniatkan agar proses persalinannya lancar. Saya langsung berangkat naik ojek. Kebetulan dijalan tadi pas berangkat ke rumah sakit ada panitia pembangunan masjid yang berdiri di tengah jalanan mencari sumbangan. Saya pun bersedekah pada panitia itu sambil di dalam hati berniat semoga Allah membalasnya dengan kelancaran proses melahirkan istri saya. Berdoa semoga diselamatkan ibu dan anaknya.


Sesampai di rumah sakit jam dua lewatan. Saya duduk istirahat sebentar. Ketika jam setengah tigaan seorang suster lewat di depan saya. Saya kembali bertanya pada suster itu. Dan saya terkaget, kata suster istri saya sudah bukaan tujuh-delapan. Bukaan sepuluh adalah bukaan sempurna. Berarti hanya tinggal menunggu waktu. Pas mendekati jam tigaan saya beranjak lebih dekat dengan ruang bersalin. Saya berdoa dengan penuh khusyu. Setelah selesai berdoa saya menutup dengan sholawat kamilah yang biasa saya dendangkan setiap hari menjelang tidur (sambil mengusap perut istri saya), yang saya yakini sholawat ini sangat akrab dengan si cabang bayi. Selesai saya membaca sholawat, jam 15.05 terdengar suara tangisan kencang, kencang sekali, kemudian saya dipanggil oleh seorang perawat yang mengabarkan bahwa tangisan tadi adalah tangisan anak pertama saya. Ya pada hari kamis 8 Mei 2008 jam 15.05 telah lahir seorang bayi mungil seberat 3 Kg. Bayi laki-laki. Dan kini ia menyandang nama Allif Ali Aulia. Semoga engkau bisa mengumpulkan ketinggia para wali Allah.


Kamis, 01 Mei 2008

Marhabanan

Marhaban Ya Nurul 'Aini
Marhaban Ya Jaddal Husaini

Selamat Datang Wahai Cahaya Mataku
Selamat Datang Wahai Kakek Hasan dan Husein


Sebulan ini aku bersyukur, dua kali tidak masuk kerja pas hari kamis. Pertama karena aku merasa agak sakit ketika setelah begadang nonton Barcelona Vs MU (waktu itu MU mainnya ngebosenin habis). Yang kedua kamis kemarin libur memperingati kenaikan Isa Al-Masih yang dirayakan oleh saudara-saudara kritiani. Hari kamis berada di rumah, berarti saya bisa ikut marhabanan.

Marhabanan merupakan acara yang saya kenal semenjak kecil. Acara yang turun temurun telah dan terus diamalkan oleh warga Nahdliyin (setidaknya oleh warga nahdlyin di sekitar kampung saya). Beruntung saya tumbuh dan besar dalam tradisi ini. Usia sampai delapan tahun tumbuh di lingkungan keluarga nahdlyin. Menjelang usia sembilan tahun sudah dipesantrenkan di pesantren nahdlyin juga.

Acara marhabanan bagi warga nahdlyin adalah sangat special. Pada acara ini warga nahdlyin membaca kitab 'Barzanji' yang didalamnya memaut puji-pujian kepada Rasulullah Muhammad Al-Musthofa. Dengan acara marhaban ini warga nahdlyin mengungkapkan cintanya kepada Sang Utusan. Pengharapan kami sangat sederhana, semoga Rasulullah membalas kami dengan syafaatnya di hari pembalasan nanti.

Tapi pengalaman saya ketika mengikuti acara ini selalu menghadirkan nuansa spritualitas yang luarbiasa. Ada nuansa khusu dan syahdu dan merasakan pusaran energi luar biasa di sekitar kita. Tanpa alat musik, hanya dengan suara manusia, kesyahduannya saya rasa tidak kalah dengan acara natal yang dipimpin langsung oleh paus di roma. Tidak percaya? Coba saja buktikan.

Yang saya syukuri, acara ini di kampung saya sangat digemari oleh anak-anak. Anak-anak ini dengan penuh antusias dan dengan keceriaan luarbiasa turut serta melantunkan marhabanan. Menjelang acara, anak-anak (perempuan dan laki-laki) dari usia lima tahun sampai belasan sudah berkumpul di masjid. Mereka dengan ceria meninggalkan acara TV menuju masjid. Saya tersenyum dan bangga betapa tradisi ini mampu menarik minat yang luarbiasa pada anak-anak di kampung saya mengalahkan acara TV yang sudah mendarah daging dalam kehidupam mereka. Ya Allah saya berterimakasih masih ada acara tradisi yang syarat dengan makna dan telah mengenalkan sang Nabi dari usia dini kepada si kecil, dan mereka menerimanya dengan penuh antusiasme dan dengan keceriaan luarbiasa lewat sebuah acara tradisi seni yang bernama Marhabanan.