Total Tayangan Halaman

Senin, 08 November 2010

Amerika Serikat dan Islam Moderat

Oleh Ridho Imawan Hanafi


Rencana kunjungan Presiden Amerika Serikat Barack Obama ke Indonesia pada 9-10 November 2010 semestinya dijadikan momentum untuk meneguhkan persepsi Barat lebih khusus Amerika Serikat bahwa Islam tidak tunggal akan varian-varian. Islam seperti yang dipahami mayoritas pemeluknya di Indonesia merupakan Islam moderat yang bisa menjadi mitra dialog dengan Barat. Bagi Barat, model pemahaman Islam yang moderat seperti Indonesia memang bisa jadi masih dianggap wajah "Islam pinggiran" yang belum mampu mengubah wajah dunia Islam sepenuhnya.

Akibatnya, wajah moderat tidak menjadi arus utama dalam perspektif Barat dalam kebijakan-kebijakannya terhadap dunia Islam. Padahal, wajah moderat Islam bisa menjadi pintu pembuka bagi upaya dialog Islam dan Barat yang kerap buntu. Saat ini, Amerika Serikat melalui kepemimpinan Obama berkomitmen kuat terhadap dialog Islam dan Barat. Upaya Obama untuk memperbaiki hubungan Barat dan Islam ditunjukkannya saat pidato di Universitas Kairo, Mesir, ketika berkunjung di Timur Tengah, Juni 2009. Dalam pidato yang diawali ucapan salam "Assalamualaikum" itu, Obama menyiratkan pesan kuat akan pentingnya babak baru hubungan dunia Barat dan Islam.

Obama juga menekankan makna toleransi, kebebasan beragama, perdamaian, dan pemahaman bersama, untuk keluar dari jeratan ketegangan dan saling kecurigaan yang selama ini menyekap Barat dan Islam. Menariknya, Obama sempat menyebut Indonesia sebagai negara --tempat ia pernah tinggal-- yang toleransi dan kebebasan beragama dijalankan. Citra tentang Islam yang ditangkap Obama adalah Islam Indonesia yang moderat dan penuh toleransi.

Selama ini, pemahaman dunia akan Islam dengan Barat cukup timpang. Ketimpangan serta merta juga ikut menghasilkan poin-poin kebijakan dunia yang kerap tidak seimbang. Barat acap memandang bahwa dunia Islam tidak lebih dari Islam versi Timur Tengah an sich. Sebagai akar historis kelahiran Islam, Timur Tengah lalu digambarkan sebagai Islam yang original dimana teologi dan doktrin mulai dikembangkan. Ironisnya, Barat rupanya lebih tertarik menangkap Islam dan Timur Tengah dengan gambaran dunia yang dipenuhi konflik dan kekerasan. Pandangan ini bisa menimbulkan ekses salah kaprah. Sebagaimana realitas yang ada, Islam memang lahir dari rahim Timur Tengah, tetapi dalam kenyataannya Islam dapat berkembang secara subur dan damai di kawasan lain seperti Indonesia.

Citra buram tentang Islam dari Barat jauh hari memang sudah diingatkan Edward Said, bahwa Barat melihat Islam sebagai the other, "sesuatu yang lain". Said dalam studi orientalismenya mengatakan, Barat menciptakan Timur sebagai "yang lain", yang berbeda dari dirinya (Barat). Orientalisme dalam hal ini berguna sebagai disiplin wacana memperkenalkan cara mengetahui tentang Islam. Latar belakang tumbuhnya orientalisme didorong oleh kebutuhan negara-negara Barat untuk memahami Islam dan masyarakatnya. Parahnya, tak jarang kebutuhan tersebut juga diiringi upaya Barat melakukan penundukan pada the other.

Dari sinilah kerja wacana tentang suramnya Islam dimulai. Dengan menganggap sebagai "sesuatu yang lain" Islam sering ditafsirkan sesuai selera Barat. Peristiwa-peristiwa kekerasan yang membawa korban masyarakat Barat dan secara kebetulan pelakunya memiliki ras genetik Timur Tengah, dengan mudah lalu dikatakan sebagai akibat legitimasi dari doktrin Islam. Akibatnya, Islam pun kian dekat dengan stereotip fundamentalis. Suatu istilah yang mudah dilekatkan bagi orang-orang Islam yang kerap melegalkan kekerasan sebagai jalan pencapaian kehendak teologisnya. Meskipun penggunaan terminologi fundamentalis itu masih membingungkan, penuh kecurigaan, tetapi yang terjadi, kata fundamentalis rupanya lebih ditujukan arahnya kepada Islam.

Fundamentalis Islam pada akhirnya sebagai gambaran umum melukiskan kelompok yang gemar melakukan kekerasan dan teror. Menurut Naharong (2005), pada tataran tertentu kelompok ini dianggap sebagai tempat persemaian (breeding ground) bagi terorisme internasional. Oleh karena itu, tidak heran kalau mayoritas masyarakat di Barat menganggap semua fundamentalis Islam itu radikal dan ekstrem. Dari sini tidaklah sukar bagi mereka untuk menyimpulkan bahwa semua orang yang Islam adalah radikal, yang tidak segan menggunakan cara-cara teroris untuk mencapai tujuannya. Islam pada akhirnya menjadi hantu yang menakutkan bagi orang Barat. Kata-kata seperti "ancaman Islam" atau "bahaya hijau" pun membayang dalam alam pikir orang Barat.

Bayangan ini menuai kenyataan saat terjadinya peristiwa 11 September 2001. Seperti yang dicatat Baso (2005), Islam pasca 11 September semuanya mengarah ke dalam satu warna, serbatunggal, tergantung pada desainer pengetahuan di seberang sana. Dalam logika ini, Islam dipersepsikan secara monolitik sebagai fundamentalis, anti-Barat, dan hatred of Americans. Singkatnya, either you`re with us or against us! Padahal, Islam tidaklah tunggal akan versi. Salah satunya adalah mayoritas Islam di Indonesia. Islam Indonesia bahkan telah menunjukkan kepada dunia telah berhasil menyelenggarakan proses demokrasi dengan penuh keterbukaan. Bahkan majalah The Economist suatu waktu pernah menganalogikan Indonesia sebagai shining example (contoh yang berkilau) akan demokrasi.

Dalam Islam moderat terkandung prinsip untuk lebih mengedepankan toleransi keberagamaan. Orientasi perjuangan Islam moderat bukanlah pada sistem melainkan pada substansi dan makna. Pada derajat tertentu, moderatisme Islam lebih menggulirkan isu-isu Islam yang progresif, toleran antarsesama, kompromi dengan budaya lokal, demokrasi, menghormati hak-hak perempuan, kebebasan berpikir, dan bisa menjalin kerja sama dengan Barat. Pendekatan yang ditempuh lebih mengarah pada cara-cara dialogis ketimbang kekerasan. Oleh karena itu, kunjungan Obama ke Indonesia harus digunakan sebagai media kampanye pada dunia internasional sehingga wajah Islam yang moderat seperti yang ditunjukkan Indonesia bisa menjadi kutub dalam kanvas dunia Islam.***


Penulis, peneliti Soegeng Sarjadi Syndicate Jakarta.

Tidak ada komentar: