Total Tayangan Halaman

Kamis, 16 Oktober 2008

The Kite Runner

Di bus, jum'at kemarin aku ditawari sebuah buku oleh pedangan asongan. Setelah lihat-lihat koleksi bukunya hampir semuanya pernah aku baca. Tapi ada satu yang menarik. The Kite Runner. Aku sudah tau bukunya sejak kuliah tapi belum sempat juga membelinya. Ga sempet. Akhirnya aku beli buku itu. Langsung dibuka saat itu juga sampulnya. Langsung dibaca. Seru. Dari Kebon Jeruk sampe serang lumayan habis 50-an halaman.

The Kite Runner ditulis oleh seorang afghan, bersetting afghanistan, bercerita tentang persahabatan dua orang anak afghan. Amir dan Hasan. Nama-nama tokoh lainnya sangat akrab di telinga muslim. Baba, Ali, Rahim Khan, Soraya, Jendral Taheri, Farid, Assef dan nama-nama lainnya.

The Kite Runner yang arti harfiahnya 'Pengejar Layang-layang' membuat saya penasaran. Buku ini bercerita tentang apa?

Amir dan Hasan adalah dua orang anak yang berselisih setahun usianya. Hasan yang lebih tua. Hasan terlahir sebagai seorang Hazara (pembantu) yang sangat setia pada tuannya Amir (si tokoh utama). Hasan adalah seorang syi'i yang sangat religius sedangkan amir liberal. Ayah Amir tidak begitu mempedulikan agama, ia hidup dengan aturan yang dibuatnya sendiri. "Satu-satunya dosa adalah pencurian dan segala dosa yang lainnya pada hakikat bentuk turunan dari dosa pencurian. Jika engkau berbohong engkau telah mencuri hak-hak seseorang untuk mendapatkan kebeneran. Jika engkau membunuh seseorang maka engkau telah mencuri seorang ayah dari anaknya, mencuri seorang suami dari istrinya, mencuri seorang anak dari orangtuanya". Itulah ajaran yang selalu terngiang-ngiang di telinga Amir dari Baba (ayah Amir).

Selama masa kecil di Afganistan Amir ingin memperoleh perhatian dari Baba yang cuek terhadapnya bahkan terkesan lebih bangga pada Hasan si Hazara. Berbagai macam cara ia tempuh untuk mendapatkan perhatian Baba tapi usahanya seperti sia-sia. Akhirnya ada satu momen yang akan membuat bangga. Festival layang-layang yang akan diselenggarakan di distrik (kota) tempat Amir tinggal. Hasan dengan segala keahlian yang dimiliknya selalu memberi semangat pada Amir bahwa hari itu adalah hari miliknya. Festival pun di selenggarakan dan dengan bantuan Hasan Amir menjadi juara festival tersebut dan ada hadiah bergengsi lain yang harus di dapatkan Amir yaitu layang-layang terakhir yang terputus harus menjadi miliknya. Hasan sang Hazara mengejar layang-layang itu untuk Amir.

"Untukmu untuk keseribu kalinya Amir Agha, aku akan mendapatkan layang-layang itu"

Hasan berhasil mendapatkan layang-layang terakhir itu, tapi ditengah jalan ia cegat oleh assef dan rombongannya. Assef bertubuh kekar dan sangat mengidolakan hitler sang nazi. Ia beringas dan kejam dan ingin membalas dendam pada Hasan karena pada hari sebelumnya ia telah dipermalukan oleh Hasan dengan ancaman ketepelnya. Dengan bantuan tiga orang rekannya ia menganiaya Hasan dan melakukan suatu nista kaum Nabi Luth kepada Hasan. Dan Amir berada ditempat kejadian, menyaksikkan semua kebejatan Assef dan kawan-kawan. Tapi ia tidak berani melakukan apa-apa. Amir terlalu pengecut untuk membela temannya. Ia pura-pura tidak melihat. Hasan berkucuran darah hitam tapi berhasil mempertahankan layang-layang itu dan menyerahkannya kepada Amir. Amir pun dengan bangga membawa layang-layang itu pada Baba dan Baba pun pada hari itu sangat bangga dengan Amir. Amir berhasil memperoleh perhatian dan kedekatan dengan Baba. Dari sinilah konflik mulai berkembang. Bagaimana Amir merasa begitu tersiksa melihat Hasan. Rasa bersalah menghantuinya. Ia tidak sanggup lagi bermain dan melihat Hasan, melihat Hasan begitu menghadirkan derita baginya. Derita sebuah pengkhianatan. Ia terus tersiksa dan ia ingin terbebas dari rasa siksaan itu. Salah satu dari mereka harus pergi. Ia pun merancang skenario untuk mengusir Hasan. Ia menyelipkan tumpukan uang dan jam tangan hadian ulang tahunnya di bawah kasur Hasan. Melaporkan kepada Baba dan menuduh Hasan sebagai pencuri. Anehnya Hasan mengakui semua yang dituduhkan Amir. Hasan kembali berkorban untuk Amir. Hasan dan Ali akhirnya pergi dari rumah besar Baba. Tapi semenjak saat itu Amir tidak bisa tidur nyenyak, ia menderita insomania.

Rusia(Soviet) kemudian menyerang Afganistan. Baba dan Amir melarikan diri kemudian hijrah ke Amerika. Di Amerika Amir sedikit lebih lega lepas dari bayang-bayang Hasan. Ia berhasil lulus kuliah, menikahi seorang putri anak jendral Taheri. Dan berhasil menjadi seorang penulis yang terkenal setelah ayahnya wafat.

Pada tahun 2001 ia mendapat telepon dari Rahim Khan teman dekat ayahnya dan seorang yang telah memberinya semangat sebagai seorang penulis. "Ada jalan kembali untuk menuju kebaikan Amir Agha..." begitulah kata-kata Rahim Khan yang terngiang-ngiang pada Amir. Ia pun memutuskan untuk mengunjungi Rahim Khan di Pakistan. Dan disanalah ia menerima kebenaran yang selama ini tidak terungkap. Ia kaget luar biasa mendapatkan berbagai macam fakta baru yang diceritakan oleh Rahim Agha. Ternyata Hasan bukanlah Hazara sebenarnya, Hasan adalah saudara tirinya. Hasan adalah anak dari Baba. Rasa bersalahnya semakin besar. Hasan sendiri telah meninggal dan meninggalkan seorang anak bernama sohrab (nama yang diambil dari sebuah cerita kuno di persia kesukaan Amir dan Hasan).

Amir pun diberi amanat untuk menyelamatkan Sohrab. Dan sejak saat itu ia seperti menerima pembalasan atas dosa-dosa yang dilakukannya pada Hasan. Ia hampir mati di Afganistan di tangan Assef yang telah menjadi seorang Talib yang ingin melakukan pembersihan etnis terhadap semua hazara. Afganistan hanya untuk orang Pashtun, begitulan pola pikir Assef. Amir akhirnya berhasil mendapatkan Sohrab dan mengajaknya ke Amerika. Tapi selama setahun tinggal bersama perlakuan Sohrab tetep dingin. Sedingin perlakuannya terhadap Hasan dulu setelah peristiwa layang-layang itu. Tapi pada akhirya Amir berhasil mendapatkan senyum Sohrab saat ia dan sohrab bermain layang-layang bersama dan ia pun merasakan kebebasan.

Ada satu hal yang menarik dari novel ini. Tokoh Baba dan Amir dihantui oleh perasaan bersalah luar biasa dan rasa bersalah itu pulalah yang mendorongnya untuk melakukan berbagai macam kebaikan. Rasa bersalah telah menjadikan mereka berdua menjadi orang-orang baik. Di sini seperti membaca sebuah ungkapan yang pernah saya baca "Dengan dosa kita menjadi dewasa". Sementara ada banyak orang atas nama Tuhan menjadi mesin-mesin pembunuh. Ya novel ini begitu banyak menengahkan ironi yang menyentuh nilai-nilai kemanusiaan kita. Walau alurnya tidak menyentak tidak salah jika novel ini menjadi salah satu koleksi bacaan Anda.

Tidak ada komentar: