Total Tayangan Halaman

Selasa, 04 November 2008

Beragama dengan percaya diri...

Panggil saja dia Ucha. Dia kuliah di Fakultas Ilmu Budaya. Anaknya kritis, atraktif dan sangat friendly. Dia tidak seperti perempuan pada umumnya. Jiwa petualangnya sangat luar biasa. Tapi yang paling aku saluti adalah corak-corak pikirannya yang selalu mempertanyakan sesuatu yang bahkan dianggap umum oleh orang-orang yang ada di sekelilingnya. Rasa ingin tahunya begitu besar. Ucha juga orangnya sangat peduli. Suatu waktu aku pernah sakit, tidak terlalu parah sih, hanya panas dingin gitu. Aku bilang pada Ucha bahwa aku lagi sakit. Dia langsung datang ke kosku, padahal waktu sudah beranjak malam. Dia menemaniku dari jam setengah delapan sampai jam sepuluh malam. Tentu saja ia berusaha menghiburku dengan sentilan-sentilan candanya.

Aku dan Ucha sering makan malam bersama. Tapi tentu saja tidak pernah berdua. Kalau aku makan bareng Ucha, biasanya selalu rame-rame sama temen-temen yang lain. Dan saat makan malam ini biasanya guyonan-guyonanpun mengalir. Biasanya Ucha selalu menjadi primadona dalam membuat guyonan ini. Sentilan-sentilannya cerdas dan kadang menusuk lawan bicaranya, ya kami, yang biasanya kena sentilan-sentilan cerdas dan konyolnya itu.

Selama kuliah dia adalah temen cewek yang paling dekat. Dia bisa menjadi teman dekat denganku karena ada kesamaan visi dalam memandang Tuhan. Aku belajar banyak kepadanya dalam memandang Tuhan. Menurutku Ucha adalah sosok yang mampu beragama dengan‘percaya diri’. Sikapnya tidak pernah reaktif dalam menangani segala isu-isu yang berkembang. Dia tidak cepat menghakimi ini benar, itu salah. Dia selalu dengan tenang mencari apa-apa yang masih membingungkannya. Mungkin karena pencariannya ini, ia begitu senang membaca, bertanya, dan juga melakukan kontemplasi. Hasil-hasil kontemplasinya biasanya ia tuangkan dalam bentuk puisi yang menurutku kedalaman maknanya tidak kalah dengan seniman-seniman senior . Suatu waktu ia pernah membuat puisi seperti ini (mungkin tidak sama percis, karena saya hanya mengingatnya),

a ba ta
aku belajar
mengejamu
a ba ta
aku terus belajar
mengejamu
a ba ta
aku masih
terus belajar mengejamu
a ba ta
aku masih
mengejamu
a ba ta
sampai kapan
aku bisa membaca
a ba ta
alifku
patah-patah

masih membicarakan hal yang sama ia juga pernah menulis puisi yang pendek tapi kaya akan makna,

mengejamu
hingga hari
ini pun
aku masih
terbata-bata
mengingatkanku
kali pertama
belajar
alif-ba-ta


Ucha juga sering berdiskusi dengan teman-temannya yang lain. Yang aku tahu yang paling sering sih dengan teman yang biasa aku panggil Otong. Sering sekali mereka tidak bertemu pada satu titik. Dan ketika kasus-kasus ini terjadi biasanya mereka berdua datang kekosku, memintaku sebagai penengahnya. Entahlah sudah berapa kali mereka datang ke kos dan memintaku sebagai penengah dalam topik-topik yang mereka berdua tidak bersepakat atasnya.

Suatu waktu mereka pernah datang kepadaku membahas masalah jilbab. Otong mengatakan bahwa jilbab hukumnya wajib, sedang Ucha masih bingung dan masih ragu dengan pendapat Otong tersebut. Banyak kok yang berpendapat bahwa jilbab itu tidak wajib katanya. Itu menurut hasil bacaannya. Di waktu yang lain mereka pernah datang kepadaku tentang nikah beda agama. Pernah juga mereka datang kepadaku membahas kasus Amina Wadud (muslimah) yang sholat jum’at di suatu gereja karena memiliki paham bahwa perempuan boleh sholat jum’at dan bahkan boleh menjadi imam sholat jum’at sekalipun.

Seputar Jilbab

Dalam masalah jilbab yang merekaajukan, aku hanya mengatakan bahwa memang ulama berbeda-beda pendapat. Tinggal kita memilih pendapat mana yang lebih cocok. Kebanyakan ulama mengatakan itu wajib. Tapi kita juga harus menghargai pendapat yang mengatakan bahwa itu tidak wajib. Kedua belahpihak punya argumennya masing-asing. Untuk yang mengatakan wajib, aku pikir aku tidak perlu memberikan penjelasan apa-apa,penjelasan itu bisa didapatkan hampir di semua toko buku. Aku hanya menjelaskan argumen yang tidak wajib. Menurut mereka yang mengatakan bahwa menggunakan jilbab itu tidak wajib berarguman dengan ayat-ayat yang sama yang mengatakan bahwa jilbab itu wajib.Pada salah satu ayat yang menerangkan hijab, ada kalimat "kecuali yang biasa nampak", dan untuk urusan ini sifatnya relatif. Yang biasa nampak di Indonesiadan di Arab tentu saja berbeda. Sementara Ulil Abshar Abdalla memandang dari perspektif AsbabunNuzul ayat yang mewajibkan jilbab tersebut. Menurut Ulil, ayat yang menerangkan wajibnya hijab tersebut asbabun nuzulnya (yang menyebabkan ayat tersebut turun) adalah untuk membedakan istri-istri Nabi dengan wanita-wanita yang lainnya. Jadi menurut Ulil itu hanya ditujukan untuk istri-istri Nabi saja.

Terus Ucha nanya diantara dua kutub tersebut mana yang aku anut?

Aku katakan padanya, bahwa pertama Jilbab bukanlah hal yang rukun dalam Islam, bukan yang menjadi dasar. Hijab tidak termasuk termasuk dalam rukun Iman maupun rukun Islam. Jadi seseorang masih sah untuk disebut sebagai muslimah dan mu’minah walaupun ia tidak menggunakan jilbab. Kedudukan hijab (baca: Jilbab) bukan seperti kedudukan sholat. Seseorang yang meninggalkan Sholat sebetulnya sudah boleh disebut bukan muslim, karena sebagaimana yang kita tahu jika salah satu rukun dalam ibadah kita tinggalkan maka akan membatalkan ibadah tersebut. Begitu juga rukun-rukun Islam, jika sesorang meninggalkan (tidak mengerjakan) salah satu rukun Islam dengan sengaja (bukan karena tidak mampu - untuk kasus zakat, puasa, dan haji) maka batallah keislaman seseorang. Makanya Nabi SAW pernah bilang "Yang membedakan Seorang Muslim dengan yang bukan muslim adalah sholatnya". Untuk kasus jilbab, sekali lagi mereka yang tidak menggunakannya masih bisa dan berhak di sebut Muslimah.

Dakwah para Aulia sukses, karena mereka seperti Nabi selalu melihat konteks. Para Aulia juga tidak menghapus tradisi yang ada, mereka hanya memperbaiki tatacaranya. Jika dulu doa-doa ditujukan kepada para dewa, para Aulia tetap membiarkan tradisi tersebut, hanya saja mereka melakukan islamisasi yaitu segala doa yang tadinya ditujukkan kepada para dewa menjadi ditujukkan kepada Allah Swt saja. Masalah hijab tidak menjadi prioritas bagi para Aulia. Prioritas utama mereka adalah akhlak.

Dalam menilai kaum hawa, aku tidak pernah menilai apa yang ia kenakan. Tapi dari apa yang ia lakukan. Akhlak menjadi prioritas utama. Sebab Nabi juga diutus untuk menyempurnakan akhlak. Tapi kalau ada dua perempuan yang sama baik kemudian salah satunya mengenakan hijab aku tentu lebih memilih yang mengenakan hijab. Dan aku juga insya Allah akan mendidik anak-anak perempuanku supaya mengenakan hijab, sebab walau itu bukan yang pokok, tapi ia tetap diperintahkan oleh Tuhan.

Begitulah jawabanku saat itu dan juga jawabanku saat menulis ini jika ada yang menanyakan masalah yang sama.


Seputar Menikah Beda Agama

Dalam masalah nikah beda agama, aku menjelaskan bahwa ulama bersepakat tentang bolehnya menikahi wanita Ahlu Al-Kitab dan mereka juga bersepakat tentang haramnya seorang muslimah menikah dengan yang non-muslim. Tapi orang-orang JIL mengatakan kesepakatan ulama dalam kasus kedua haramnya muslimah untuk menikah dengan non-muslim) bukanlah bersifat final dan mengikat. Itu hanya kesepakatan ulama zaman dulu. Itu ijtihad manusia yang bisa saja salah, kata mereka. Kemudian dari segi kebahasaan, ada banyak sekali hadits-hadits Nabi yang seakan menunjukkan sebagian padahal maksudnya untuk keseluruhan. Contohnya ketika Nabi bersabda "tholabul ‘ilmi faridatun ‘al kulli muslim" yang artinya mencari ilmu diwajibkan bagi setiap muslim, itu bukan berarti muslim saja melainkan juga muslimahnya (untuk masalah ini ada istilah khusus dalam Nahwu saya lupa istilahnya). Nah dengan berargumen istilah dalam kaidah bahasa ini, mereka (JIL) berijtihad bahwa kebolehan muslim (laki-laki) menikah dengan Ahlu Al-Kitab juga bisa juga diterapkan dalam kebolehan muslimah untuk menikah dengan Ahlu Al-Kitab karena berdasarkan kaidah Ushul Fiqh bahwa dalam masalah mu’amalah segala sesuatu asal hukumnya boleh selama tidak ada dalil yang melarangnya, sedangkan memang baik dalam Al-Quran maupun Al-Hadits tidak ditemukan larangan wanita muslim menikah dengan Ahlu Al-Kitab. Tidak ada larangan "Wanita muslim dilarang menikah dengan Ahlu Al-Kitab" dalam Al-Quran maupun Al-Sunnah. Yang ada hanya larangan menikahi yang musyrik, dan itu ditujukkan kepada muslim laki-laki maupun muslim perempuan. Oh iya, walaupun nikah dimasukkan dalam FIQH MUNAKAHAT, tapi ia tergolong masalah mu’amalah. FIQH MUNAKAHAT adalah bagian dari FIQH MUAMALAT.

Tapi menurutku, menikah berbeda agama sangat riskan. Betul-betul penuh resiko. Bagaimanapun kita akan dimintai pertanggungjawaban terhadap anak-anak kita. Setidaknya kita bertanggung jawab dalam mengarahkan anak-anak kita, karena Nabi pernah bersabda "orangtua lah yang menjadikan seorang anak menjadi Yahudi atau Nashrani" sementara fitrah setiap jiwa adalah hanif kepada Islam. Jadi kalaupun ijtihad JIL itu benar, demi kehati-hatian, kalau aku seorang laki-laki aku akan menikah dengan wanita muslim, sedangkan kalau aku perempuan muslim aku akan menikah dengan laki-laki yang muslim.

Begitulah jawabanku saat itu, dan juga jawabanku saat ini jika seseorang bertanya untuk kasus ini.

Seputar Kasus Amina Wadud

Menanggapi kasus Amina Wadud, aku hanya berpikir Amina wadud sepertinya hanya mengenal golongan muslim sunni, muslim salafi, dan muslim syi’ah. Ia tidak mengenal muslim ahmadiah. Mungkin kalau dia mengenal muslim ahmadiah ia tidak akan melakukan hal itu. Dalam Ahmadiah perempuan bukan saja boleh menunaikan shalat jum’at tapi perempuan justru disunnahkan untuk mengikuti shalat jum’at (walaupun tidak diwajibkan). Tapi untuk kasus seorang perempuan yang menjadi imam shalat (yang makmumnya laki-laki) jawabanku tegas, aku tidak bisa menerima itu. Karena dalam masalah ibadah, kaidah fiqh menyebutkan segala sesuatu asal hukumnya terlarang selama ada dalil yang membolehkannya. Oleh karena itu, beribadah harus sesuai apa yang digariskan oleh Nabi, dalam masalah ini Nabi pernah bersabda "Segala sesuatu yang baru (dalam masalah ibadah) adalah bid’ah, dan setiap yang bid’ah menuntun ke neraka". Aku tidak pernah menemukan dalil bolehnya perempuan menjadi imam bagi laki-laki, karena shoat termasuk masalah ibadah, maka dalam masalah ini aku tidak pernah bisa menerima kebolehan perempuan menjadi imam bagi laki-laki.

Dalam masalah ibadah, segala sesautunya sudah bersifat final. Suatu saat Imam Abu Hanifah pernah berguru kepada Imam Ja’far Shiddik (dalam tradisi Syi’ah Imamiah sebagai Imam ke enam). Abu Hanifa terkenal sebagai Ahli ijtihad, ia sering menggunakan ra’yunya dalam banyak ijtihadnya. Panggilan Abu Hanifah adalah Nu’man. Terjadilah dialog antara Imam Ja’far dan Imam Abu Hanifah :

"Wahai Nu’man sesungguhnya dalam agama kita tidak boleh menggunakan ra’yu!"

"Kenapa tida boleh?"

"Pikirkanlah hal-hal berikut kemduian gunakanlah ra’yumu. Pertama aku akan bertanya, lebih utama mana shalat dengan puasa?"

"Nabi bersabda bahwa amalan yang paling pertama dihisab adalah sholat, kemudian jika kita tidak bisa mengerjakan puasa masih ada ibadah sosial sebagai penggantinya (yaitu membayar fidyah), sementara sholat harus tetap dilaksanakan dalam kondisi apapun, baik sehat, sakit, atau dalam kondisi apapun, jadi jelas sholat lebih utama dibandingkan dengan puasa"

"Kamu betul, sholat lebih utama dibandingkan dengan puasa. Tapi kenapa dalam agama, wanita haid (berarti meninggalkan puasa dan sholat) harus mengganti puasanya sementara ia tidak diharuskan mengganti sholatnya, bukankah jika kau menggunakan ra’yumu hal yang lebih utama itulah yang seharusnya diganti?" kata Imam Ja’far.

"Kemudian lebih najis mana antara air kencing dengan air mani?" tanya Imam lebih lanjut.

"Seseorang boleh sholat dengan air yang sudah kena air mani (bahkan dalam suatu hadits, Aisyah pernah menceritakan bahwa Nabi pernah sholat dengan kain yang begitu terlihat jelas bekas kena air mani), sementara sholat dengan menggunakan kain yang kena percikan air kencing saja sudah batal (tidak sah), jadi jelas air kencing lebih najis dibandingkan dengan air mani."

"Tapi, kenapa agama hanya memerintahkan berwudhu untuk orang yang kencing, tapi memerintahkan mandi untuk yang keluar air mani?"

"Kemudian, mana yang lebih kuat laki-laki atau perempuan?"

"Jelas laki-laki Imam"

"Tapi kenaga agama memerintahkan hak waris perempuan setengah hak waris laki-laki"

Jadi untuk kasus seperti ini aku tidak akan menggunakan ra’yuku. Sekali lagi dalam masalah ibadah semuanya sudah final.

Itulah jawabanku yang kuberikan pada Ucha dan Otong saat itu dan itu juga jawabanku saat ini.

Jujur saat aku menanggapi pertanyaan Ucha maupun Otong tersebut, jawaban-jawabanku adalah jawaban spontanitas. Aku hanya betul-betul mengandalkan ingatanku dari iteratur-literatur yang pernah aku baca, jadi aku tidak bisa melakukan pengecekan ulang terhadap sumber-sumber yang aku gunakan. Ku suruh mereka sendiri yang melakukan pengecekan ulang. Aku hanya betul-betul mengandalkan pengetahuan tacit. Begitu juga saat aku menulis ini. Aku hanya iseng menulis, karena tidak ada pekerjaan dari kantor. Jadi tugas-tugas teman-temanlah untuk mengecek kebenaran isi tulisan ini. Jika ada sesuatu yang salah, itu sepenuhnya manusiawi. Al-Insanu makanul khotoi wa nisyani, manusia itu tempatnya salah dan lupa. Semoga bermanfaat, dan bisa menjadikan kita beragama dengan lebih percaya diri (tidak reaktif).

kamis, 19 januari 2006

Tidak ada komentar: