Total Tayangan Halaman

Senin, 10 November 2008

Dan Tentang Menabung di Bank


Dan Tentang Menabung di Bank

Dan Tentang Menabung di Bank

Dan Tentang Menabung di Bank

Dan Tentang Menabung di Bank

" Bagi saya menabung di Bank sama saja dengan melestarikan penindasan dan  turut  serta dalam melakukan penindasan "

Kalimat itu pernah terucap ketika saya berdiskusi dengan beberapa teman di kantor. Spontan saja kalimat tersebut mengundang temen-temen seruangan untuk menanggapi. Pada kesempatan yang lain saya juga pernah melontarkan kalimat yang sama di depan kang Uqon dan Nuning. Sampe Nuning kemarin memberikan testi bahwa saya 'anti bank'. Hehe..di sini terjadi kesalahpahaman. Saya tidak mempermasalahkan Bank, yang saya permasalahkan adalah MENABUNG DI BANK. 

Kenapa MENABUNG DI BANK sama saja dengan melestarikan penindasan dan turut serta dalam melakukan penindasan? suatu pertanyaan yang sama yang diberikan oleh temen-temen seruangan ketika saya pertama kali melontarkan pernyataan diatas. 

Kalimat pembuka dalam tanda petik di awal tulisan ini adalah sebuah kesimpulan setelah melalui sedikit 'renungan'. Renungan yang mungkin dangkal. Tapi sedangkal apapun renungan itu semoga bisa memberikan sudut pandang yang berbeda terhadap temen-temen dalam 'menginvestasikan' harta atau tepatnya uang di Bank. 

Ada beberapa alasan kenapa menabung di Bank sama saja dengan melestarikan penindasan dan turut serta dalam melakukan penindasan.

Pertama sebagaimana kita ketahui, bahwa sistem ekonomi yang berkuasa saat ini adalah sistem ekonomi kapitalis. Dalam banyak hal, seperti yang pernah ditulis oleh banyak ahli bahkan adik kita (Tigor) pernah membahas bahwa KAPITALISME adalah bentuk ekploitasi (penjajahan) baru terhadap rasa dan nilai kemanusiaan. Di bawah kapitalisme manusia ditempatkan di bawah modal. Pada tahun 90-an Cak Nun pernah menulis bahwa nilai kemanusiaan tidak lebih dari 300 perak. Anda akan diturunkan dari angkutan kota ketika Anda tidak mampu membayar uang 300 perak  tersebut (tahun 90-an lho). 

Kebanyakan teori-teori yang menentang kapitalisme selelu mengaitkan dengan tema keadilan dan penguasaan sumber daya yang tak berimbang antara pemilik modal dan pemilik sumber daya (alam dan manusia) dimana pemilik modal selalu dalam posisi yang diuntungkan. Memang banyak sekali pengkritik yang mengatakan bahwa lembaga-lembaga keuangan tingkat dunia (seperti IMF dan World Bank ) menjadi penyebab utama rontoknya kemandirian dan kehidupan perekonmian negara-negara berkembang. lembaga-lembaga tersebut telah menjerat negara-negara berkembang dengan utangnya yang tak mungkin terbayar. Tapi jarang sekali dari para ahli tersebut yang menyerang lembaga PERBANKAN sebagai JANTUNG DARI KAPITALISME. Padahal kapitalisme tidak bisa hidup tanpa lembaga Bank. 

Menabung di Bank dalam pandangan saya akan menyebabkan orang kaya menjadi semakin kaya dan orang miskin akan semakin miskin. Selain itu akan meneybabkan matinya perekonomian pada tingkat skala mikro. Lho kok bisa? Pikirkanlah baik-baik. Ketika Anda menabung di Bank, jumlah uang dari seluruh lapisan rakyat diserap sehingga uang hanya terkonsentrasi pada lembaga-lembaga perbankan (Saya yakin seratus persen bahwa uang yang beredar di masyarakat pasti lebih kecil dibandingkan uang yang beredar antara Bank), dan ketika uang ini sudah terkumpul, kebijakan Bank selalu berpihak pada para pemodal, jarang berpihak pada orang kecil. Hanya orang-orang besar dan kaya saja yang mampu memanfaatkan modal yang sangat berlimpah di Bank ini. Dengan modal yang berlimpah dari Bank ini para pemodal kelas kakap melaksananakan ekspansi bisnisnya, memperluas kekuasaan (finansial dan politiknya) dan turut serta menentukan kebijakan-kebijakan negara. Sedangkan orang-orang miskin semakin dieksploitasi untuk memenuhi tujuan-tujuan jangka pendek atau jangka panjang dari pemilik modal ini. Sementara orang-orang yang kelebihan 'sumber keuangan' menjadi tidak kreatif karena hanya mencari posisi aman (menabung). Sumber daya (keuangan) yang sangat besar ini pada akhirnya hanya dimanfaatkan oleh sedikit danhanya sedikit korporasi. Dengan mengumpulnya uang pada lembaga perbankan ini juga menyebabkan kehidupan ekonomi menjadi sakit. Karena arus kas yang beredar di masyarakat lebih kecil. Bagi yang mafhum ekonomi, semakin banyak kas yang beredar di masyarakat semakin sehat ekonomi masyarakat itu.Di sisi lain, untuk orang-orang miskin, Bank menerapkan standar yang menyulitkan orang-orang miskin untuk mengakses sumber daya keuangan ini. Bank Perkreditan Rakyat (yang sering disebut sebagai Bank keliling) misalnya dalam pandangan saya bukannya menolong orang miskin malah makin menjerumuskan ke dalam kemiskinan yang lebih dalam. Bank ini memberikan pinjaman dalam jumlah kecil (setau saya dimulai dari skala 10.000 - itu dulu, sekarang berapa ya?) dan diharuskan mengembalikan selang sehari kemudian dengan cara mencicil yang apabila dikalkulasikan bunganya lebih dari 20% dalam tempo sebulan. Bener-bener gila.

Kaum muslim dengan konsepsi ribanya sangat sulit sekali ditarik untuk turut serta dalam sistem keuangan yang menjerat ini. Oleh karena itu, orang kafir mencari segala cara agar kantong-kantong yang belum dikuasai dari sumber keuangan muslim dapat dikuasai. Maka diciptakanlah suatu labelisasi terhadap produk yang menindas ini (Bank) dengan term-term kata yang sangat familiar di mata mereka. Maka dilakukanlah perkawinan haram (orang Serang menyebutnya 'kawin jaddah') antara doktrin-doktrin yang diberi label Islam dengan anak emas kapitalisme yang kemudian melahirkan “Bank Syari'ah” yang disebut sebagai Bank Islam. Labelisasi ini telah mampu menarik sebagian muslim yang tadinya enggan menginvestasikan (menabungkan) uangnya pada lembaga perbankan menjadi berbondong-bondong untuk menabungkan uangnya di Bank yang seringkali disebut lembaga 'keuangan islami' ini. Pasar modal syari'ah pun diciptakan. Future Trading Syari'ah pun diciptakan. Segala yang awalnya nampak haram dimata masyarakan Islam dihalalkan dengan sebuah labelisasi "Syari'ah" pada lembaga-lembaga tersebut. Jangan-jangan kalau diteruskan akan lahir sebuah Perjudian Syari'ah (hehehe...ini hanya anekdot :P).

Sudah ah...segini dulu...waktu istirahat sudah habis :), Kang Uqon mungkin bisa menambahkan dengan isi diskusi kita yang terakhir, bagaimana caranya supaya kita terlepas dari jerat-jerat Bank (bagaimana kita mengelola pemodalan sendiri dan pemberdayaan ekonomi masyarakat bawah). Dan hal-hal lain yang masih kita setujui tentang pentingnya Bank, tanpa produk tabungan itu :) 

27-04-2006

4 komentar:

Aldhino Anggorosesar mengatakan...

dalem juga Rif bahasannya :P
Ntar dibikin buku juga...

AIR mengatakan...

Assalamualaikum


Nice posting bro.....btw, hal ini udah pernah dibicarain bareng gw pas mo balik ke serang bareng bro....

ia gw pikir sah-sah aja ente bilang gitu...tapi kenyaataan dilapangan begitu...banyak bank2 apalagi bank konvensional kayaknya lebih gampang mengucurkan dana kredit untuk para pengusaha - pengusaha kelas menengah ke atas, yang sering juga kredit itu cepat diberikan walaupun perusaahaannya ga jelas dan bahkan ga punya kantor..... (karena konco yagh bisa aja lah...Indonesia gitu..)...makanya kasus kredit macet pengusaha "besar" tumbuh subur di Indonesia...Ente semua pada ingatkan di era awal 90-an kasus kredit macet Edi tansil 1,3 T...(fantastic...) sama Bapindonya....Eh sekarang terulang lagi kredit macet di Bank Mandiri,....Dan kasus Bank Global...

Coba ente-ente pada pikir....dari mana uang Bank itu di dapat????? Ya dari para nasabah yang menabung di Bank salah satunya....nah jadi ini salah SATU sedikit fakta yang relevan untuk mendukung opini kang Arif....bahwa Menabung di Bank bisa jadi dapat lebih melakukan penindasan kaum-kaum MARGINAL yang ga bisa disebut pengusaha "besar".....sehingga bait lagu bang haji Rhoma " yang Blangsak tambah blangsak...yang makmur tambah makmur.."" terbukti juga ...hehehe,....

TAPI bro....kapitalisme ga dapat dihilangkan dari muka bumi....kecuali yang menghuni bumi ini ayam yang ga doyan duit, maksud gw, selama orang yang melakukan transaksi ekonomi itu masih gila ama yang namanya untung, dan gada sistem yang ngatur maka kapitalisme akan terus tumbuh....Jadi OMONG KOSONG dan Bahkan GILA gw bilang klo orang yang berbisnis ga bicara PROFIT..

Opini gw, kapitalisme itu hanya bisa DIREDAM dengan rasa HUMANISME, Prinsip KEADILAN delel...waktu lalu gw baca dikompas mengenai bisnis lintas komunitas...hal ini sangat menarik bagi gw, pada saat orang di Indonesia banyak melakukan bisnis yang ersifat tertutup artinya kerajaan bisnisnya hanya menguntungkan kelompok nya saja tanpa memperdulikan komunitas lain sekitarnya bahkan mengekploitasi komintas di luar komunitasnya. Nah, dalam bisnis lintas komunitas lebih mengedepankan rasa humanisme, keadilan, dan tanggungjawab sosial bro, tidak hanya profit semata....

for example : jika si A ingin buat pabrik shampo dari lidah buaya misalkan, maka si A itu ndak "mengambil/mengekploitasi" semua aspek yang berkaitan bagi pabrik shamponya. Akan tetapi dia melakukan bisnis lintas komunitas, artinya jika pabriknya butuh Lidah buaya sebagai bahan bakunya, maka si A meminta dan membeli lidah buaya dari komunitas petani B dengan keadilan tanpa tengkulak, dan jika komunitas petani B butuh pupuk untuk tanamannya maka komunitas B membeli pupuk dari komunitas C yang tentunya diutamakan masyarakat sekitar, jadi bukan si A aja yang kaya ( dapat modal dari Bank yang gede, beli lidah buaya dari negara asing, beli pupuk dari cina, beli bungkus shamponya dari cina dll), sementara komunitas marginal masyarakat sekitarnya hanya dijadikan workers selamanya, digaji minim, ga ada duplikasi ilmu pengetahuan dsb.

OK...jadi gitu bro opini gw..
so, the last conclusion....
1. Menabung di Bank emang salah satu sumber dana bagi Bank, tapi ndak semua Bank sulit ngasih kredit bagi kaum Marginal (ada KUKM = kredit usaha kecil dan menengah...bro...hehehehe..) depend on rasa Humanisme, prinsip keadilan, dan tanggungjawab sosial dari para pelaku Bank tersebut.
2. Sistem kapitalisme ndak akan pernah hilang selama yang diomongin masalah PROFIT bro, jadi kapitalis atau ndak tergantung pelaku bisnis tersebut, punya rasa humanisme, prinsip keadilan dan tanggung jawab sosial ndak ???? OK

getu aza deh dulu the first posting gw....semoga banyak salahnya (kan gw geofisikawan bukan ekonom...jadi maaf Bang Fajar klo ngecap gw brantakan....) nah klo banyak salahnya kan banyak yang maki-maki gw....


thanx 4 all....

regards

FAdlY-Al-Kragilan-i...hehehe..nyaingin ente Rif...hehehe

Anonim mengatakan...

Tentang Ekonomi Syariah (yg pasar modal), klo saya menanggapinya
kira-kira begini..

Kemunculan berbagai institusi syariah saat ini merupakan langkah awal
penerapan sistem ekonomi yang lebih Islami. Bagaimana bisa suatu negara
tiba-tiba menerapkan sistem ekonomi syariah kalau tidak ada persiapan
berupa perangkat-perangkat institusi syariah sebelumnya. Ada perbedaan
mendasar antara perbankan konvensional dan syariah, ataupun pasar
keuangan seperti pasar modal dan uang yang memfasilitasi trading future,
sukuk, dan saham. Perbedaan tersebut ialah pengalokasikan modal. Klo di
konvensional tidak perduli kemana uang tersebut dialokasikan mau halal
atau haram, apakah menyentuh sektor riil atau tidak (fenomena bubble
economics yang menyebabkan kemiskinan global menarik juga kalau mau
dikaji). Kalau di syariah ada semacam seleksi ketat, seperti dilarangnya
pembiayaan terhadap minuman keras, rokok, film, musik, dll. serta tidak
diakomodasinya kemungkinan unsur-unsur seperti riba, judi dan
ketidakpastian (spekulasi). Sehingga, bukan sistem ekonomi syariahnya
yang dapat disalahkan melainkan pembuat kebijakannyalah yang menentukan
suatu pasar modal itu syar`i atau "syar`i-syar`ian". (contoh: di pasar
modal syariah tidak diakomodasi trading yang sifatnya short-selling,
klo tidak salah minimal saham harus dipegang setidaknya 3 hari sebelum
dapat dijual kembali ke secondary market, klo di konvensional bisa
jual-beli kapan aja).

Ada paradigma yang belum bisa dirubah karena belum diterapkannya sistem
ekonomi Islam, yakni suatu paradigma yang men-syar`i-kan produk-produk
konvensional, simplenya bagaimana caranya produk-produk konvensional
bisa di-hukum-i secara syariah, klo halal yes, klo haram diubah dikit
biar "nyar`i", bukan sebaliknya, yakni bagaimana ekonomi syariah bisa
merubah seluruh produk konvensional menjadi murni syariah dan
terintegrasi dalam satu sistem yang berdiri sendiri yang bernama ekonomi
Islam. Sehingga ekonomi syariah yang kita kenal sekarang sangat-sangat
parsial dan masih terintegrasi dengan sistem konvensional yang ribawi
dan notabenenya merupakan manifestasi sistem kapitalisme.

Yah, tapi saya menganggap semuanya sebagai proses, sesungguhnya ekonomi
syariah yang bersumber dari Al Qur`an dan Sunnah itu memiliki aspek yang
sangat luas-luas sekali, bahkan perbedaan madzhab yang dipakai umum di
suatu negara atau ijtihad ulama pun mengakibatkan perbedaan
karakteristik produk ekonomi syariah di negara yang berbeda pula. Semoga
kelak, ketika Islam memimpin bumi ini, akan kita buktikan bagaimana
sistem ekonomi Islam kokoh berdiri dibawah back-up khilafah dan
membuktikan keunggulannya sebagaimana zaman Umar bin Abdul Aziz.

Mungkin cuma itu yang bisa disampaikan, sebetulnya bisa panjang, tapi
karena keterbatasan ilmu dan lagi lab terpaksa tidak dilanjutkan.
Namanya juga masih belajar... mungkin penjelasannya gak nampol..

Wassalam

AIR mengatakan...

gilang andhika wrote:

tapi menurut saya,
judi adalh spekulasi tapi spekulasi blom tentu judi...
saya juga setuju dengan pendapat kg arif ttg pasar modal....
tapi ttg bank, saya krg setuju...

1. dimana lg qt akan menyimpan uang selain dibank yang qt harapkan keamanannya??? apa qt mesti menyimpan uang 50jt dibawah bantal atau dicelengan...???dan saya rasa jg bank tsb ga hanya menanamkan modalnya pada para kapitalis.tapi jg pada pengusaha pada skala ekonomi mikro (terutama bank2 pemerintah)


gila aja kalo naro duit 50 jt di bawah bantal :P
banyak alternatif ko, duit 50 jt kan bisa buat beli tanah (di sini dijamin keamanannya) bisa juga beli emas. yang paling bagus sih, kalo ada koperasi yang profesional dan kita jadi anggotanya, kita tabungin di koperasi itu aja. hehehe lagian sayang lagi, punya duit 50 jt cuman diendokin doang di Bank yang nguntungin kapitalis, mending di pake buat usaha, kalo ga bisa usaha mending di pake buat modalin orang usaha (di sini jelas, resikonya ditanggung bersama, dan peluangnya juga tidak selalu untung - seperti di bank syari'ah), coba baca deh tulisan saya yang judulnya 'menggagas ekonomi berkah dengan tidak menabung di bank' di situ kalo ga salah di singgung sedikit cara menginvestasikan modal kita tanpa harus menabung di bank. tujuan utamanya sih dengan tidak menabung di bank, diharapkan akan lahir komunitas-komunitas ekonomi yang mandiri, yang bisa mengelola dana komunitasnya untuk kesejahteraan bersama (komunitas tersebut).

bayangkan deh, misal seluruh anak Forkoma (anggap ada 80 orang) itu membentuk komunitas ekonomi sendiri. kan setiap anggota forkoma punya kebutuhan setiap bulannya. mungkin pengeluaran setiap anggota untuk keperluan hidup saja lebih dari 500 ribu, nah yang 500 ribu ini biasanya ngendok di ATM masing-masing (setidaknya selama sebulan), coba dana ini dihimpun untuk membentuk komunitas ekonomi sendiri (misalnya dengan mendirikan koperasi Forkoma - masalah tempat bukan kendala utama lho dengan sistem ekonomi berbasiskan komunitas) dan dikelola oleh anggota2 yang profesional dengan pekerja - mahasiswa yang kesulitan finansial misalnya, maka dana yang dihimpun dari komunitas ini setiap bulannya adalah paling sedikit 40 jt (cukup besar lho buat modal koperasi) dan ketika dana ini buat usaha faktor keberkahannya sangat besar, selain memenuhi semua kebutuhan (akan produk2 yg dibutuhkan anggota) juga bisa membantu temen-temen kita yang kesulitan (dg mengangkat mereka sebagai pekerja) dan uang tersebut potensi kembali ke kitanya sangat besar (keuntungan koperasi akan kembali ke anggota koperasi). Keberkahan akan semakin besar, jika misalnya koperasi juga memberikan layanan tabungan, temen2 kita yang kelebihan tabungan misalnya menabungkan uangnya di koperasi Forkoma tersebut, terus dana tabungan itu digunakan untuk memperluas bidang usaha komunitas anggota Forkoma - contohnya usaha percetakan dan penerbitan dll.

Bandingkan jika tidak ada koperasi (yang sekarang terjadi), berarti setiap bulan uang dari komunitas Forkoma berhasil ditarik oleh pemodal2 kelas berat pemilik Carefour, Giant, CopyDigital dll, renungkan temen2, sedikitnya 40 jt keluar dari komunitas ini setiap bulannya, kalo setahun sedikitnya 480 jt, kalo 4 thn sedikitnya 1,92 miliar. Angka yang fantastis bukan? dan dari angka yang besar itu kita tidak mendapatkan apa-apa. Kita tidak bisa membantu temen-temen kita. kita tidak mendapatkan bagian keuntungannya. dan uang itu beredar di LUAR sana (dan bisa saja di bawa ke luar negeri kalo pemilik Carefourt, Giant, CopyDigital dll itu orng luar negeri). Sedangkan kalau kita berkomitmen dengan koperasi yang kita miliki, uang sejumlah 1,92 miliar tersebut bisa jadi lebih besar (karena digunakan usaha, insya Allah mendatangkan keuntungan) sehingga misalnya setelah 4 thn menjadi 3 miliar, wow angka yang lebih fantastis, dan uang sejumlah itu tetap berputar di komunitas kita, alangkah sejahteranya komunitas kita setelah 4 thn (bayangkan saja 3 miliar!!!!). Ato bayangkan alternatif terburuk, usaha kita tidak untung sama sekali (dan ini sangat agak mustahil), setidaknya uang tersebut tetep berputar di komunitas kita dan masing-masing kita tetep sibuk menjalankan usaha dengan uang 1.92 miliar tersebut, ya kita tidak usah harus mengemis-ngemis mencari pekerjaan bahkan mungkin saja kita masih memerlukan orang dari komunitas lain untuk menjadi pekerja kita. Kerasa bangetkan keberkahannya bukan?

so tertarik membentuk koperasi nih? kalo ini bener2 mau diwujudkan, saya akan menginvestasikan (menabungkan) uang saya di koperasi ini dan saya ingin menjadi termasuk orang yang pertama-tama mendaftar sebagai anggota koperasi ini...! gimana kang uqon, mau ga menggerakkan potensi ekonomi komunitas kita ini?